Bicara soal ikhlas
selalu berhubungan dengan masalah niat,
karena keduanya punya kaitan erat. Niat merupakan awal dalam segala amal, perjuangan dan kegiatan lainnya. Niat akan menjadi
ukuran yang menentukan tentang baik buruknya suatu amal atau perbuatan. Bila niatnya baik, akan
membuahkan nilai yang baik. Tapi, jika niatnya buruk, hasilnya pun akan buruk.
Inti dari niat
adalah keadaan atau sifat yang tumbuh dalam hati manusia, yang menggerakkan
atau mendorongnya untuk melaksanakan suatu pekerjaan. Dalam Hadits Riwayat
Bukhari-Muslim, Nabi SAW bersabda :
”Sesungguhnya
segala amal-perbuatan itu tergantung pada niat, dan tiap orang akan memperoleh
sesuatu berdasarkan niatnya. Barangsiapa yang berhijrah pada jalan Allah dan
Rasul-Nya, maka hijrahnya itu adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa
yang hijrah karena ingin memperoleh keduniaan, atau untuk mengawini seorang
wanita, maka hijrahnya ialah kearah yang ditujunya itu”.
Betapa penting
fungsi niat itu, para Ulama menggambarkan “Kerapkali amal kecil akan menjadi
besar karena (baik) niatnya; dan seringkali pula amal yang besar bisa menjadi
kecil atau hilang sia-sia karena (salah) dalam niatnya”.
Ikhlas menurut
pengertian Syari’ah, seperti diterangkan Sayid Sabiq, adalah “mengerjakan
ibadah atau kebaikan hanya karena Allah semata-mata dan mengharapkan Ridla-Nya,
bukan karena iming-iming harta, pujian, gelar, kepopuleran, kehebatan , dan
sebutan dunia lainnya”.
Dalam Al-Qur’an,
Allah mengibaratkan ikhlas seperti susu yang bersih-murni, bisa menyehatkan dan
menyegarkan tubuh manusia bila diminum. Dalam Surat An-Nahl (16):66 disebutkan
:
”Dan Sungguh, pada hewan ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi
kamu. Kami memberimu minum dari apa yang
ada dalam perutnya (berupa) susu murni (kholis) antara kotoran dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang
meminumnya”.
Pada ayat tersebut
Allah memberikan contoh tentang ikhlas itu seperti susu-murni binatang ternak.
Ketika masih berada dalam perut binatang, susu itu terdiri dari dua zat kotor
dan menjijikkan, yakni kotoran dan darah. Setelah melalui proses,
jadilah susu yang bersih murni, tidak bercampur dengan kotoran dan zat-zat
lainnya. Begitulah Allah mengibaratkan bahwa sesuatu amal yang ikhlas tak
bedanya seperti susu-murni, bersih dari kotoran.
Orang ikhlas
memusatkan pikirannya agar setiap amalnya
diterima oleh Allah. Buah yang akan dipetik dan dinikmati oleh orang ikhlas
adalah akan merasakan ketentraman jiwa dan
ketenangan batin. Karena dia tidak diperbudak oleh penantian untuk
mendapatkan pujian, penghargaan, atau diberi imbalan.
Kita tahu, bahwa penantian adalah suatu hal yang tidak
menyenangkan. Menunggu diberi pujian itu juga akan menjadi sesuatu yang tidak
nyaman. Bahkan akan lebih getir lagi jika apa yang telah kita lakukan itu
ternyata tidak dipuji orang. Akhirnya kekecewaan yang akan diterima dan
dirasakan.
Orang yang tidak
ikhlas dalam melakukan apapun, justru banyak menemui kekecewaan dalam hidup.
Dia mudah tersinggung dan kecewa, karena terlalu banyak berharap kepada orang
lain, sehingga sering pusing terhadap hal-hal sepele yang dialami sehari-hari.
Mengerjakan sesuatu selalu dirasakan berat.
Tetapi bagi seorang
hamba yang ikhlas, dia tidak akan pernah mengharapkan apapun dari siapapun,
kecuali Allah yang akan mengaturnya. Baginya, kenikmatan itu bukanlah dari
mendapatkan, melainkan dari apa yang bisa dipersembahkan.
Karenanya, kalau
sudah berbuat suatu kebaikan, kita lupakan perbuatan itu. Kita titipkan saja di
sisi Allah, pasti aman. Tidak usah disebut-sebut, diingat-ingat, nanti malah
berkurang, atau malah hilang pahalanya.
Orang
yang ikhlas sadar bahwa apa yang diniatkan dengan baik, lalu terjadi atau
tidak yang dia niatkan itu, semuanya
telah dilihat dan dinilai oleh Allah.
Kita tidak akan rugi sedikitpun
apabila ikhlas dalam melakukannya. Orang
yang ikhlas sadar, bahwa manusia hanya
wajib menyempurnakan niat dan usahanya. Sedangkan perkara kejadian terbaik itu
adalah urusan Allah Mang Maha Tahu. Oleh karena itu, kalau ikhlas, dia tak
mudah kecewa dengan kejadian (urusan duniawi) yang tidak menyenangkan dan tidak
sesuai dengan harapan dan keinginannya.
Orang ikhlas itu;
sikap, tutur kata, raut muka dan gerak-geriknya bukan ditujukan untuk mencari
popularitas (ketenaran) dan menonjolkan diri.
Ia sadar, sehebat apapun ketenaran disisi manusia, tidak akan berarti
dihadapan Allah jika tidak dilandasi keikhlasan. Ketenaran yang dikejar, kadang
malah bisa menjadikan dirinya sombong. Orang yang ikhlas tidak akan sibuk
menonjolkan diri, memamerkan amalnya, hartanya, kedudukannya, atau aneka topeng
duniawi lainnya yang diharapkan dapat mengangkat citra dan pujian kepada
dirinya di hadapan manusia. Karena semua itu tiada berguna jika Allah
menghinakannya.
Dia tidak peduli amal yang dilaksanakan itu kecil dan remeh dalam
pandangan manusia atau tidak, ada yang menyaksikan atau tidak. Contoh, dia akan
tergugah dan sungguh-sungguh berupaya menyingkirkan paku di jalan, mematikan
kran di masjid yang terbuka mubazir, atau mengosek tempat wudlunya, atau
memberikan makan seekor kucing yang
menggelepar kelaparan, dan sebagainya. Jadi tidak terkecoh dengan penampilan
luar yang dianggap besar saja.
Sadar bahwa tujuan
dari perjuangan hidupnya adalah Allah SWT, yang dibela adalah kepentingan yang
diridloi Allah, sehingga tidak kaku dan terpaku hanya kepada kelompoknya atau
golongannya secara sempit. Dia tidak
sibuk membela kelompoknya dengan mengabaikan apa yang disukai Allah. Dia senang
hati mau menolong kelompok manapun yang benar di jalan Allah dan memang
bertujuan memuliakan Agama Allah. Dia senang dengan kemajuan kelompok lain yang
bertujuan mulia, yang sama-sama berjuang untuk jalan Allah dalam arti luas.
Namun, Hamba Allah
yang ikhlas bukan berarti tidak pernah tersinggung atau sakit hati. Tetapi
harus ada alasan tepat, dan tindakannya baik marah maupun memamaafkan hanyalah
karena Allah semata.
Ada contoh dalam
riwayat. Suatu ketika Imam Ali bin Abi Tholib bertempur dan berhasil
menjatuhkan lawannya. Ketika saat kritis, lawan terdesak dan hampir terbunuh,
orang itu tiba-tiba meludahi Ali. Serta merta Imam Ali menghentikan perkelahian
dan melepaskan lawannya sehingga sang lawan bertanya.
“He Ali, kenapa anda tidak jadi
membunuhku, padahal aku sudah tidak berdaya lagi?”
Imam Ali menjawab, ”Aku khawatir kalau
melanjutkan perkelahian ini dan aku membunuhmu, itu karena aku marah, gara-gara
telah kau ludahi, bukan karena membela agama Allah”.
Ali sangat khawatir perjuangannya sudah
tidak murni lagi, tetapi telah disaputi oleh dendam dan hawa nafsu.
Begitupun ketika memaafkan seseorang,
yang dilakukan bukan karena ingin disebut sebagai pemaaf. Bukan pula karena
ingin dikenal sebagai orang yang baik hati. Melainkan karena memang memaafkan
adalah amal mulia, yang disukai Allah dan sangat dicontohkan oleh Rasulullah
SAW.
Ikhlas itu memang mudah diucapkan,
tetapi susah dilaksanakan. Makanya kita perlu terus belajar untuk menjadi orang
yang ikhlas dalam menjalani hidup ini. Semoga Allah SWT selalu membimbing kita.
Amien.
(Suparto)
Comments
Post a Comment