BALADA
MINAH
Oleh
: Suparto
Kemiskinan
yang terus mendera, menggoyahkan kehidupan rumah tangga Minah yang sudah 25
tahun dibangunnya. Ditambah kondisi kesehatan yang tak kunjung membaik,
membuatnya linglung. Ketika ia mencoba mengeluh kepada suaminya, Siman, bukan
jalan keluar yang didapat, namun justru permasalahannya kian ruwet.
“Pak.
Iki piye, kehidupan kita kok makin
susah. Sakitku tak sembuh-sembuh. Bapak juga sering sakit. Kita ngga bisa kerja apa-apa. Terus untuk
makan dan kebutuhan kita sehari-hari gimana”,
keluh Minah.
“Bu,
aku malah tambah bingung. Wis ora iso
mikir. Aku mau pergi dulu, untuk menenangkan pikiran”, jawab Siman.
“Lho
piye to Pak, kok malah mau
meninggalkan rumah. Jangan pergi Pak, aku piye”?
Siman
kukuh. Tak menghiraukan istrinya, ia tinggalkan rumah. Siang yang terik
mengiringi langkah Siman. Ia kayuh becak kesayangannya, menuju tempat yang tak
diketahui rimbanya. Siman bukan hanya meninggalkan rumah reyot, namun juga
Minah sendirian dengan segudang masalah dan hidup yang memilukan.
***
Minah,
lahir 55 tahun yang lalu. Orangtuanya, Somejo dan Ngadiyah, hanyalah petani
kecil di Dukuh Sine, Sragen. Ia anak
nomor empat dari enam bersaudara. Seperti saudaranya yang lain, Minah hanya
bisa mengenyam pendidikan sekolah dasar. Pola pikir orangtuanya yang
terbelakang, menjadikan anak-anak seusia Minah tak mendapatkan pendidikan
layak. Mereka cukup lulus sekolah dasar. Selanjutnya tetap di rumah, ikut
membantu pekerjaan orangtua mencari rejeki seadanya, sampai ketemu jodoh jika
usia dianggap cukup.
Beranjak
remaja, ketika banyak bergaul dengan teman-teman sebayanya, Minah mulai
berpikir untuk lepas dari kungkungan orangtuanya. Ia ingin mandiri. Keinginan
itu seperti gayung bersambut ketika Pakdhe
Gito, saudara sepupu ibunya dari
Semarang mengunjunginya. Ia langsung menyampaikan keinginannya untuk ikut ke
Semarang.
“Pakdhe. Saya besok ikut ke Semarang ya?”
rengek Minah kepada Pakdhenya.
“Boleh.
Asalkan bapak-ibumu mengijinkan” pinta Pakdhe Gito
“Gimana
Bapak dan Simbok (Ibu). Boleh ngga Minah ikut Pakdhe ke Semarang”?
“Silahkan
saja. Yang penting kamu harus nurut
sama Pakdhe dan Budhe di Semarang” kata ayahnya, yang diamini ibunya.
Saat
di Semarang, Minah merasakan keceriaan bersama dua puteri Pakdhenya yang hampir
sebaya. Minah diberi tugas Pakdhe Gito membantu mengelola toko kelontongnya.
Awalnya, ia merasa cocok dengan pekerjaan ini. Namun setelah dua bulan berjalan,
ia berubah pikiran. Ini gara-gara berkenalan dengan Siman, pengayuh becak asli
Semarang yang sering mangkal di dekat toko pakdhenya.
“Enak
ya tinggal sama Pak Gito. Orangnya baik” celetuk Siman menggoda Minah.
“Iya,
tapi aku kurang bebas” kata Minah.
Karena
sering bertemu, hubungan Siman dan Minah makin akrab. Mereka kerap mencari
kesempatan untuk bisa ngobrol berdua. Mereka pun saling jatuh cinta.
Mengetahui
hubungan keduanya, keluarga Gito memperingatkan Minah agar tidak terlalu dekat
dengan Siman. Tetapi hati Minah sepertinya sudah lengket dengan Siman.
“Kamu
itu gimana to Nduk, bikin malu. Kalau
masih seperti itu, sebaiknya pulang saja” kata Gito agak geram.
Minah
memilih mengikuti kata hatinya yang condong kepada Siman daripada mematuhi
pakdhenya. Baginya, sosok Siman, meski hanya seorang pengayuh becak, seperti
Sang Arjuna yang tanpan mempesona.
“Kenapa
kamu tertarik Siman Nduk”?
“Tidak
tahu Pakdhe. Pokoknya Minah senang sama Mas Siman. Orangnya lugu – apa adanya!”
“Ya
sudah, kalau itu pilihanmu. Pakdhe tidak bisa membantu kamu”
Setelah
menemukan kesempatan terbaik, ia pamit kepada keluarga Gito untuk mencari pekerjaan lain. Minah tidak
pulang ke Sragen sebagaimana saran pakdhenya. Tetapi bersama Siman mencari
tempat kontrakan untuk tempat jualan. Hubungan Minah-Siman rasanya sulit
dipisahkan. Mereka mulai berpikir untuk segera menikah.
“Mas.
Kita segera menikah ya, biar bisa hidup dengan tenang”? pinta Minah.
“Ya.
Aku besok mau minta restu keluarga. Kamu juga kan”?
Minah
pun pulang kampung untuk menyampaikan niatnya kepada orangtuanya.
“Kalau
dia seneng sama kamu, dia suruh ke
sini sama keluarganya. Bapak Ibu tidak terlalu mempersoalkan siapa dia. Yang
penting kalian saling mencintai untuk hidup bersama”, pesan ayah Minah.
“Iya
Nduk. Simbok juga tidak keberatan.
Kamu sudah dewasa, bisa menentukan masa depanmu sendiri. Bapak Ibu hanya
merestui saja. Semoga kalian bahagia” timpal ibunya.
Proses
pernikahan Minah-Siman terbilang lancar
dan cepat. Setelah resmi menikah, keduanya segera kembali ke Semarang. Mereka
berdua tinggal di rumah kontrakan yang amat sederhana. Mereka membuka usaha
warung makan kecil-kecilan di seputar Jalan Siliwangi, Semarang. Sembari
membantu berjualan isterinya, Siman tetap menekuni profesinya sebagai pengayuh becak.
Setahun
kemudian, lahir anak pertama, lelaki, yang diberi nama Joko. Dan ternyata
menjadi anaknya semata wayang. Mengikuti jejak orantuanya, Joko hanya
menamatkan SD, dan membantu orangtua berjualan ayam goreng. Setelah dewasa Joko
nikah dengan gadis Semarang, yang membuahkan dua cucu bagi Minah-Siman.
Usaha
warung ayam goreng Minah, hasilnya tidak pernah menggembirakan. Hanya cukup
untuk membayar rumah kontrakan dan kebutuhan seadanya. Tak lebih. Kehidupannya
tetap miskin. Malah, kadang mereka harus ngutang
kesana kemari untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
Entah
siapa yang salah, keuangan rumah tangganya makin ruwet. Akhirnya usahanya bangkrut,
karena terlilit hutang cukup besar kepada seorang rentenir.
“Bu
Minah. Kalau ngga bisa bayar hutang,
saya laporkan polisi lho!”, ancam Menuk, sang rentenir.
Takut
berurusan dengan polisi, ia pulang kampung. Tetapi karena keluarga di Sragen
tidak bisa membantunya, akhirnya Minah menjual tanah warisan. Tanah pekarangan
seluas 100 m2, kala itu, tahun 1980-an, dibeli
kakaknya seharga 200 ribu rupiah. Uang sebesar itu untuk melunasi hutang,
sisanya digunakan menambah modal usaha.
Setelah
sekian tahun hidup di Semarang, kehidupannya tidak makin baik, Minah dan Siman
akhirnya memutuskan pulang ke Sragen. Namun
persoalan kembali muncul. Mereka belum memiliki rumah. Pekarangan miliknya
sudah terjual. Akhirnya mereka tinggal di rumah orangtuanya.
“Yo wis pancen nasibmu Nduk. Urip neng paran
pirang-pirang tahun yo mung kaya ngono kahananmu”, ucap ayahnya yang sudah
renta. Nafasnya terengah dan sesak ketika mendapati kenyataan hidup Minah yang tetap
memprihatinkan setelah sekian tahun hidup di rantau.
Sudiyem,
seorang kakaknya kemudian mengijinkan Minah menggunakan tanah pekarangannya
untuk didirikan rumah (bekas) yang amat sederhana bantuan salah satu pengusaha.
Tahun
1999, Minah dan suaminya mulai menjalani kehidupan babak baru di Sragen.
Suaminya mencari rongsok – barang
bekas untuk dijual ke pengepul, sambil mengayuh becak. Minah buruh tani, ngasak - mencari sisa-sisa rontokan panen padi atau ketek. Kadang buruh cuci di beberapa
keluarga. Penghasilan mereka berdua hanya pas-pasan .
Tahun
2012, Minah jatuh sakit. Mendadak tubuhnya lemas, kepala pusing dan kakinya
sulit digerakkan. Dokter Hary yang memeriksanya menyatakan, Minah mengidap
beberapa penyakit.
“Bu.
Jenengan mengidap penyakit gula, asam
urat, kolesterol dan vertigo!!”
Mendengar
keterangan dokter Hary, pandangan Minah langsung gelap. Beberapa saat ia tidak
ingat apa-apa lagi. Setelah sadar, ia mendapat pesan dokter agar banyak
istirahat, mengatur pola makan dan menjalani hidup dengan tenang.
“Pesan
dokter itu baik. Tetapi bagaimana menjalani hidup tenang jika nasib saya
seperti ini”? keluh Minah.
Minah
butuh makan, butuh biaya untuk beli obat dan berbagai kebutuhan penting
lainnya. Sementara suaminya kondisi fisiknya mulai rapuh. Ketika mengayuh becak
mengantar penumpang, nafasnya tersengal-sengal dan berkali-kali batuk. Joko,
anaknya yang tinggal di Semarang jarang menengoknya lantaran kehidupan rumahtangganya masih
labil.
Batin
Siman tertekan. Sebagi suami, ia merasa tidak bisa membahagiakan keluarga.
Justru kemiskinan yang selalu mengiringi perjalanan hidup rumah tangganya.
Beban hidupnya makin berat.
“Bu.
Aku mau pergi dulu”
“Pergi
kemana Pak”?
“Entahlah.
Yang penting untuk menenangkan pikiran”
“Lho.
Aku piye Pak…”?
Siman
makin bingung. Di siang yang membakar itu,
bersama becak kesayangannya ia tinggalkan rumah.
“Jangan
pergi Pak…!!” teriak Minah. Siman tak lagi mendengar teriakan Minah. Dalam
sekejap, bagai ditelan bumi, Siman hilang dari pandangan Minah.
Setelah
suaminya pergi, Minah bukan hanya menahan sakit yang menggeroti tubuh dan luka
hatinya. Ia harus berjuang sendiri untuk
mempertahankan hidup, di rumah reyot yang kondisinya memprihatinkan. Beberapa
bagian atap dan tiangnya terlihat sudah lapuk.
Dan,
apa yang dikhawatirkan terjadi. Siang itu,
hari Kamis di bulan Agustus 2014, sekitar pukul 14.00 dirinya baru
pulang dari takziyah di rumah
kakaknya yang meninggal dunia. Sampai di rumah, ia segera mengambil air wudlu
untuk melaksanakan sholat dzuhur. Saat hendak sholat, ia mendengar bunyi
“kretek-kretek” di beberapa bagian rumahnya. Ia mengurungkan sholat dan segera
lari keluar sambil berteriak “Omahku arep
ambruk”.
Beberapa
tetangga yang mendengar teriakan Minah, keluar rumah. Minah dibantu seorang
tetangga masih sempat menyelematkan sebuah pesawat TV. Beberapa detik kemudian, Rumah Tidak Layak
Huni yang ditempati Minah itu mendadak
roboh, luluh lantak rata dengan tanah. Padahal tidak ada angin kencang. Hampir
semua perkakas rumah hancur. Puluhan warga berhamburan keluar rumah menuju
lokasi kejadian, untuk memberikan pertolongan.
Minah
hanya bisa berdiri mematung di depan rumahnya yang tinggal puing-puing
berserakan. Sesaat kemudian seorang kakaknya, Poniyem, mengajak dirinya untuk
tinggal di rumahnya.
***
“Ya
Allah. Berikan kami kekuatan dan kesabaran untuk menerima cobaan-Mu. Sembuhkan
sakit kami. Tunjukkan kami jalan yang terbaik. ” doa Minah yang diucapkan
setiap habis sholat.
Dua
hari setelah rumahnya ambruk, datang rombongan dari Pemda Sragen yang mengaku
dari Tim Matra. Menurut Ratno, salah satu petugas Matra, begitu mendapat
laporan dari Kepala Kelurahan, timnya langsung terjun ke lokasi menyerahkan
sumbangan uang Rp. 5 Juta untuk membantu pembangunan rumah Minah. “Bantuan ini
berasal dari sumbangan sukarela para pejabat dan PNS Sragen yang dihimpun
setiap bulan melalui Matra, untuk membantu warga miskin” jelasnya. Dengan
sumbangan itu, dipimpin ketua RT, para tetangga kemudian bergotong royong
membangun kembali rumah Minah.
Kini
rumah Minah sudah berdiri tegak, lebih kokoh dan lebih baik dari semula.
“Ternyata
masih ada orang yang peduli dengan nasib orang melarat” gumam Minah. Ia
berusaha tetap tegar menjalani hidup, apapun yang terjadi.
Tengah
malam, Minah terbangun. Setelah mengambil air wudlu, ia jalankan shalat
tahajud. Minah tak pernah lelah berdoa kepada Allah. Minah percaya, Allah pasti
memberikan pertolongan dan jalan keluar dari kegetiran hidupnya.
Minah
pun yakin, Siman akan segera kembali ke rumah. Ia masih tetap mencintai dan
setia menunggu kepulangan suaminya itu. Ia juga berharap anaknya di Semarang
cepat datang menengok ibunya. “Duh Gusti Allah, berilah keselamatan kepada
suami dan anak cuku kami”. Minah tetap mendoakan orang-orang yang dicintai,
meski tidak berada disisinya.
sragen, agustus 2014
Comments
Post a Comment