Ibadah puasa di bulan Ramadhan yang baru saja kita laksanakan,
sesungguhnya adalah suatu proses pendidikan dan latihan bagi orang-orang
beriman, menghantarkan pada puncak
nilai-nilai kemanusiaan yang disebut dengan taqwa.
Dengan berpuasa, kita mempertahankan keimanan yang kita miliki. Dengan
berpuasa kita akan menjadi orang yang bertaqwa. Dengan berpuasa, kita akan
menjadi kekasih Allah, yaitu orang yang beriman sekaligus bertaqwa.
Itulah makna firman Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa,” (Qur’an Surat (QS) Al-Baqarah [2]:183).
Dengan pendidikan dan latihan sebulan lamanya, grafik iman dan taqwa
kita meningkat, dosa-dosa telah terampuni, dan pahala telah banyak kita
peroleh. Insya Allah kita telah lulus ujian dan memperoleh piagam pernghargaan
yang bertuliskan:
“Ghufiro lahu ma taqoddama min dzambih - Telah diampuni
dosa-dosanya yang telah lampau,” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).
Tetapi, dosa-dosa yang telah terampuni itu, barulah dosa-dosa yang
berhubungan dengan Allah. Sedangkan dosa dan kesalahan kepada sesama manusia
belum terampuni sebelum kita saling memaafkan.
Maka, inilah yang kita lihat di hari nan fitri, - Hari Lebaran - orang
saling bersilaturahim, mohon maaf lahir dan batin, agar betul-betul fitri,
bersih dari segala noda, baik hubungan secara vertikal (dengan Allah) maupun
horizontal (sesama manusia).
Dalam tradisi masyarakat
Indonesia, kita mengenalnya dengan istilah Halal bi Halal. Halal bi
Halal sering dimaknai sebagai bersilaturahim dan bersalaman untuk saling
meminta dan memberi maaf agar hati yang membeku menjadi cair. Semua rasa benci,
dendam, permusuhan, dengki, buruk sangka dan sifat negatif lainnya hilang dari
diri kita.
Inti Halal bi Halal adalah silaturahim untuk saling memaafkan. Silaturahmi
berarti menyambung atau menghubungkan tali kasih sayang yang dilandasi
nilai-nilai persaudaraan, dan kesetiakawanan diantara seluruh umat manusia.
Halal bi Halal bersumber dari ajaran Islam tentang hubungan manusia dengan
Allah (hablun min Allah) dan hubungan
manusia dengan sesamanya (hablun min
an-nas). Dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 22, Allah berfirman,
وَلْيَعْفُوْا
وَلْيَصْفَحُوْاۗ اَلَا تُحِبُّوْنَ اَنْ يَّغْفِرَ اللّٰهُ لَكُمْ ۗوَاللّٰهُ
غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
”… dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak
ingin bahwa Allah mengampunimu?. Dan Allah Maha Pengamoun, Maha Penyyang.”
Dalam ayat tersebut pemberian ampunan dari Allah tegas-tegas dikaitkan
dengan pelaksanaan perintah memberi maaf dan berlapang dada atas kesalahan
orang lain terhadap dirinya.
Kaitannya dengan silaturahim, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhori dan Muslim, Nabi Muhammad SAW bersabda : “Maukah kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar pahalanya
daripada sholat dan puasa? Yaitu engkau damaikan orang-orang yang bertengkar,
dan barang siapa yang ingin panjang usia dan banyak rejeki, sambungkanlah tali
silaturahim,”
Karena itulah, Hari Lebaran atau Idul Fitri ini dianggap saat yang paling
tepat untuk merajut tali persaudaraan. Meneguhkan kembali tali silaturahmi,
untuk menemukan makna hidup yang lebih indah. Alangkah indahnya hidup ini jika
dihiasi dengan hati yang bening, terlepas dari belenggu penderitaan karena
kotornya hati.
Menebar kasih sayang terhadap sesama melalui silaturahim akan terasa indah
dan mengesankan. Tapi syaratnya harus tulus ikhlas. Jangan dikotori dengan
perasaan untuk mengingat-ingat dan mencari kesalahan, aib dan kejelekan orang
lain. Yang perlu justru mengingat-ingat dan menyelidiki aib dan kejelekan diri
sendiri secara jujur, sebelum menilai orang lain.
Silaturahim tidak terbatas hanya saling berkunjung atau berjabatan tangan saja, tetapi mempunyai
makna yang lebih dalam. Yakni kita harus mampu menghubungkan/menyambungkan dan
menghimpunkan berdasarkan kasih sayang. Rasulullah SAW, bersabda, ”Yang disebut silaturahim itu bukanlah
sekedar seseorang yang membalas kunjungan atau pemberian, tetapi silaturahim
itu nenyambungkan yang terputus,”(Hadits Riwayat Bukhari).
Kalau orang berkunjung kepada kita dan kita membalas mengunjunginya, ini
tidak memerlukan kekuatan mental yang tinggi, karena bisa jadi hal itu
dilakukan lantaran kita merasa berhutang budi.
Tetapi jika ada orang yang tidak pernah bersilaturahmi kepada kita,
kemudian dengan niat tulus kita kunjungi orang tersebut walaupun harus menempuh
perjalanan cukup jauh dan sulit, mengalami derita karena kemacetan, maka inilah
yang disebut silaturahim dengan sebenarnya.
Apalagi kalau ada orang yang membenci kita, kemudian kita berupaya untuk
menemuinya. Padahal, jelas-jelas hak kita pernah terambil/terampas, hati kita
sempat terlukai, tetapi kita tidak dedam ingin membalasnya, malah kita kunjungi
dengan ketulusan, maka disinilah kekuatan dari hahekat silaturahim.
Suatu ketika Rasulullah memberi nasehat, ”Hendaklah kalian mengharapkan kemuliaan dari Allah,”
“Apakah yang dimasud itu ya Rasul,” tanya seorang sahabat.
“Hendaknya kalian suka menghubungkan tali silaturahmi kepada orang yang
telah memutuskan engkau, memberikan sesuatu kepada orang yang tidak pernah
memberi sesuatu kepadamu, dan hendaknya kamu memaafkan orang yang menyakitimu,”(Hadits Riwayat Al-Hakim).
Itulah tiga hal yang disebut Rasulullah dengan
ungkapan afdhalul fadhail (perbuatan
yang paling utama diantara yang utama), ”(Ada) suatu perbuatan yang paling utama diantara perbuatan yang utama,
bersilaturrahim dengan orang yang memutuskannya, memberi pada orang yang tidak
pernah memberi, dan memaafkan orang yang berlaku kurang baik pada kita,” (HR. Imam
Thabrani dari Mu’adz bin Jabal).
Suasana Idul Fitri adalah momen paling tepat untuk
melakukan hal ini. Setelah sebulan kita jalankan puasa dan berbagai ibadah yang
lain dan berharap diapuni segala dosa kita kepada Allah, maka kita berusaha
membersihkan hati, saling memaafkan dengan sesama manusia.
Dalam kondisi demikian, sikap memaafkan adalah
sifat yang mulia dan menjadi ciri bagi orang bertaqwa. Salah satu sifat mulia
yang dianjurkan dalam Al Qur’an adalah sikap memaafkan,
خُذِ ٱلْعَفْوَ وَأْمُرْ
بِٱلْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ ٱلْجَٰهِلِينَ
”Jadilah pemaaf dan suruhlah
orang mengerjakan yang ma’ruf (kebajikan), serta jangan pedulikan orang-orang
yang bodoh,” (QS. Al-A’raf [7]:199)
Mereka yang tidak mengikuti
ajaran mulia Al Qur'an akan merasa sulit memaafkan orang lain. Sebab, mereka
mudah marah terhadap kesalahan apa pun yang diperbuat orang lain yang dibenci.
Padahal, Allah telah menganjurkan orang beriman bahwa memaafkan adalah lebih
baik,
وَاِنْ تَعْفُوْا وَتَصْفَحُوْا
وَتَغْفِرُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
”... dan
jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah
Maha Pengampun, Maha Penyayang,” (QS. At Taghaabun, [64]:14)
Di dalam Qur’an Surat Asy-syura [42]:43, Allah
berfirman,
وَلَمَنْ صَبَرَ وَغَفَرَ اِنَّ ذٰلِكَ لَمِنْ عَزْمِ
الْاُمُوْرِ
"Barang siapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu termasuk perb"uatan yang mulia," (QS. Asy-syura, 42: 43).
Berlandaskan hal tersebut,
kaum beriman adalah orang-orang yang bersifat memaafkan, pengasih dan berlapang
dada, sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur'an,
وَٱلْكَٰظِمِينَ ٱلْغَيْظَ وَٱلْعَافِينَ
عَنِ ٱلنَّاسِ
"...menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan)
orang lain," (QS. Ali ‘Imran [3]:134)
Dalam berbagai referensi
disebutkan, bahwa mereka yang mampu memaafkan adalah lebih sehat baik jiwa
maupun raganya. Mereka menyatakan bahwa penderitaannya berkurang setelah
memaafkan orang yang menyakitinya.
Orang yang terus belajar
memaafkan kesalahan orang lain, merasa dirinya lebih baik, tidak hanya secara
batiniyah namun juga jasmaniyah. Gejala-gejala pada kejiwaan dan tubuh seperti
sakit punggung akibat stress [tekanan jiwa], susah tidur dan sakit perut makin
berkurang pada orang-orang yang suka memaafkan.
Sifat pemaaf memicu
terciptanya kondisi yang lebih baik dalam pikiran seperti harapan, kesabaran
dan percaya diri dengan mengurangi kemarahan, penderitaan, lemah semangat dan
stres.
Sebaliknya, kemarahan dan
kejengkelan terhadap seseorang atau suatu peristiwa menimbulkan emosi negatif
dalam diri orang, dan merusak keseimbangan emosional bahkan kesehatan jasmani
mereka.
Jadi, mereka mengambil
langkah-langkah untuk memaafkan. Meskipun mereka tahan dengan segala hal itu,
orang tidak ingin menghabiskan waktu berharga dari hidup mereka dalam kemarahan
dan kegelisahan, dan lebih suka memaafkan orang lain.
Kemarahan adalah keadaan
pikiran yang sangat merusak kesehatan manusia. Memaafkan, di sisi lain,
meskipun berat, terasa membahagiakan, satu bagian dari akhlak terpuji.
Memaafkan mampu menghilangkan segala dampak merusak dari kemarahan, dan
membantu orang tersebut menikmati hidup yang sehat, baik secara lahir maupun
batin.
Memaafkan,
adalah salah satu perilaku yang membuat orang tetap sehat, dan sebuah sikap
mulia yang seharusnya diamalkan setiap orang.
Dari sisi kebugaran jiwa, dengan memaafkan orang lain, ruang emosi kita
akan relatif bersih dari beban negatif kebencian, dendam pada orang lain.
Sebenarnya, kebencian kita pada orang lain justru merugikan kita lebih dulu
sebelum membahayakan orang lain. Karena hari-hari yang kita lalui habis untuk memikirkan
orang yang kita benci, sehingga hati kita menjadi panas membara.
Kalau kita tidak mau memaafkan orang lain dan kita tidak sudi menerima
permintaan maaf dari orang lain. Maka akan menyebabkan kebencian dan dendam terus
berlanjut sehingga merusak sistem emosi.
Apa yang harus kita lakukan.
Bersihkan hati dengan menghapus
kebencian dan dendam dari kesalahan orang lain yang kita anggap telah
merugikan, menyakiti kita. Kemudian, menghapus keinginan untuk membalas dendam.
Namun, tujuan sebenarnya
dari memaafkan – sebagaimana segala sesuatu lainnya – haruslah untuk
mendapatkan ridha Allah. Kenyataan bahwa sifat-sifat akhlak seperti ini, dan
bahwa manfaatnya telah dibuktikan secara ilmiah, telah dinyatakan dalam banyak
ayat Al Qur’an, adalah satu saja dari banyak sumber kearifan yang dikandungnya.
Dalam agama Islam, memaafkan termasuk karakteristik utama ketakwaan dan
termasuk perilaku / sifat yang sangat disenangi Allah.
Dengan demikian, betapa pentingnya kita menyambungkan tali kasih sayang
(silaturahmi). Kalau kasih sayang tersambung kepada makhluk-makhluk Alloh, maka
Allah pun akan menyayangi kita. Apabila kasih sayang Allah tercurah untuk kita,
akan terasa indah dan bahagia kita menikmati hidup di dunia ini. Dan insya
Allah, kita juga akan menjadi orang yang
beruntung hidup di dunia dan akherat.
Suasana Idul Fitri merupakan momen/peristiwa yang istimewa, karena sudah
menjadi tradisi sebagian besar masyarakat Indonesia untuk “mudik” dan berkumpul
dengan seluruh keluarganya.
Kalau di luar bulan Syawal, kita mau ketemu orang satu persatu, orang per
orang sangat sulit, maka kesempatan di bulan Syawal inilah kesempatan yang
paling baik untuk bertemu dengan seluruh keluarga dan kerabat atau
kawan-kawannya yang sudah lama tidak ketemu.
Keinginan orang untuk mudik ke kampung pada saat lebaran, kalau kita
cermati, sebenarnya muaranya sama, yakni keinginan untuk saling bertemu,
kemudian memberi salam kedamaian dengan bersalaman (saling memaafkan), dengan
mengharapkan berkah dari Alloh SWT.
Secara
harfiah, mudik itu sering diartikan pulang kampung. Tetapi secara simbolik,
mudik juga berarti kembali kepada asal.
Kembali ke asal kultural/budaya, seperti orang-orang yang berada di perantauan
kembali ke asalnya, yakni kampung halaman.
Dalam
pengertian simbolis yang lebih dalam
adalah kembali kepada kesucian. Suci dari dosa terhadap Tuhan, dan suci
dari kesalahan terhadap sesamanya. Suci hatinya, bening hatinya, bersih
pikirannya.Tenang dan tentram hidupnya.
Sayangnya,
masyarakat kita ini baru mampu menangkap makna simbolis secara tradisi saja.
“Sing penting bisa ketemu keluarga, sedulur atau konco-konco,” Makna yang lebih
dalam belum dipahami.
Tapi sebenarnya, mohon ampun atas segala dosa kepada Tuhan maupun minta maaf atas segala kesalahan kepada sesama itu tidak harus dilakukan di bulan Ramadhon atau bulan Syawal saja. Yang paling baik adalah, begitu kita merasa dirinya berbuat dosa, langsung ingat, kemudian mohon ampun kepada Alloh, bertaubat, selanjutnya memperbaiki diri dan tidak mengulangi perbuatan dosanya.
Begitu
juga ketika kita berbuat salah kepada sesamanya, seketika itu dengan penuh kesadaran langsung meminta maaf.
Demikian pula kita, kalau ada orang lain yang meminta maaf, kita harus
memberikan maaf. Sebab jika kita tidak mau, orang lain tersebut sudah terlepas
dari kesalahannya terhadap kita.
Mengapa
kita harus sesegera mungkin minta ampun kepada Allah dan minta maaf kepada
sesama atas segala dosa dan kesalahan kita? Karena kita tidak tahu batas umur
manusia. Bagaimana kalau mendadak Allah besok atau lusa menentukan kematian
bagi kita? Padahal kita masih banyak dosa dan kesalahan. Inilah yang harus
dijaga dan perlu mendapat perhatian. Terutama kesalahan terhadap sesamanya,
kalau kita belum menyatakan meminta maaf, Allah belum mengampuninya.
Semoga
bermanfaat.
-------
Makan ketupat dicamur santan
Paling nikmat buat sarapan
Selamat Lebaran kami ucapkan
Mohon maaf atas segala kekhilafan
----
Selamat Idul
Fitri
Selamat Hari
Lebaran
Mohon Maaf Lahir
Batin
----
Suparto
Comments
Post a Comment