Momen peringatan Hari
Guru Nasional 2019 ini, saya gunakan membaca buku tentang pendidikan berjudul, "Anies Baswedan Mendidik Indonesia."
Buku Biografi yang ditulis Yanuardi Syukur itu terbit tahun 2014, saat Anies masih menjabat Rektor Universitas Paramadina, Jakarta.
Beberapa waktu kemudian, Anies diangkat sebagai Menteri Pendidikan saat Jokowi terpilih menjadi Presiden periode pertama. Tapi sekitar dua tahun kemudian, Anies menjadi salah satu Menteri yang harus berhenti ketika Jokowi melakukan perombakan (Reshuffle) Kabinet.
Beberapa tahun setelah tidak menjadi Menteri, Anies berhasil memenangkan Pilkada dan dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Buku Biografi yang ditulis Yanuardi Syukur itu terbit tahun 2014, saat Anies masih menjabat Rektor Universitas Paramadina, Jakarta.
Beberapa waktu kemudian, Anies diangkat sebagai Menteri Pendidikan saat Jokowi terpilih menjadi Presiden periode pertama. Tapi sekitar dua tahun kemudian, Anies menjadi salah satu Menteri yang harus berhenti ketika Jokowi melakukan perombakan (Reshuffle) Kabinet.
Beberapa tahun setelah tidak menjadi Menteri, Anies berhasil memenangkan Pilkada dan dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta.
***
Berikut saya nukilkan pernyataan Anies Baswedan, mantan Menteri
Pendidikan yang kini menjabat Gubernur DKI, tentang kedudukan guru, dalam buku tersebut.
Anies menyatakan, Guru merupakan ujung tombak kualitas pendidikan di Indonesia.
Bila kunci utama masalah ini dapat diselesaikan, ia sangat yakin dunia
pendidikan Indonesia akan lebih baik.
Menurutnya, ada tiga masalah terkait guru
di Indonesia, yakni distribusi penempatan guru yang tidak merata, kualitas guru
yang juga tidak merata, serta kesejahteraan guru yang tidak memadai.
“Bila masalah ini dapat
diatasi, saya yakin kualitas pendidikan di Indonesia akan semakin baik. Tapi kalau
ini dibiarkan, mau kurikulumnya diganti atau bangunannya diperbaiki, tetap saja
tidak akan ada efeknya karena nomor satu yang harus diperbaiki adalah manusianya,”
kata Anies yang disampaikan sebelum
menjabat Menteri.
Sayangnya, menurut Anies, fokus
utama pemerintah saat ini hanya membenahi masalah yang ada di hulu seperti
kurikulum atau undang-undang, sementara masalah di hilir, yaitu guru, tidak
tersentuh.
“Penyesuaian kurikulum
memang penting, tapi yang lebih mendesak dan menjadi ujung tombaknya adalah
menyelesaikan masalah-masalah terkait guru. Karena kurikulum yang bagus tidak
ada artinya bila disampaikan oleh guru dengan sederetan maslaah yang dihadapinya,”
tegasnya.
Besarnya jumlah penduduk
muda Indonesia yang sering disebut sebagai bonus demografi di mata Anies juga
bisa menjadi bom waktu. “Bayangkan jika jumlahnya banyak tapi tidak terdidik,
itu akan menjadi bom waktu yang membahayakan bagi masa depan Indonesia,” ungkap
dia.
Anies memberi catatan
banyak anak Indinesia yang lulus sekolah dasar namun tidak bisa melanjutkan
pendidikannya karena jumlah SMP dan SMA tidak sebanding dengan SD.
"Masalah ini
harus segera dibereskan sehingga setiap anak dipastikan bisa sekolah sampai SMA.
Tapi kenyataannya saat ini banyak yang tidak bisa sekolah karena memang jumlah
SD, SMP dan SMA tidak proporsional. Jumlah SD ada sekitar 168.000, sementara
SMP 39.000 dan SMA 26.000. Jadi jangan disebut drop out karena memang
sekolahnya tidak tersedia.”
Terkait masalah distribusi
guru yang tidak merata, Anies telah menginisiasi Gerakan Indonesia Mengajar sejak
tahun 2010. Program ini mengirimkan anak-anak muda terbaik bangsa, yang disebut
Pengajar Muda, untuk mengajar di daerah selama satu tahun. Program ini juga
bertujuan untuk menciptakan calon pemimpin yang memiliki pemahaman akar rumput,
serta kompetensi global.
***
Gagasan Anies soal guru tersebut bagus dan ideal. Tapi bagaimana
realisasinya ketika dia menjabat Menteri Pendidikan beberapa tahun di Era
Jokowi periode pertama?
Publik bisa menilainya, dan para guru yang merasakannya.
(Suparto)
Comments
Post a Comment