Oleh Ustadz Sa’id Abu Ukkasyah
Bukanlah yang dimaksud dengan kata takdir
dalam frasa “takdir buruk” pada judul di atas adalah perbuatan Allah
menakdirkan suatu peristiwa.
Karena Allah Maha Indah, baik dzat, nama,
sifat, maupun perbuatan-Nya. Allah Maha Indah ditinjau dari segala sisi.
Tidak ada satupun keburukan yang terdapat pada
diri Allah. Tidak boleh satupun keburukan disandarkan kepada dzat, nama, sifat,
maupun perbuatan-Nya.
Apakah yang dimaksud
dengan Takdir Buruk?
Maksudnya adalah peristiwa pahit yang Allah
takdirkan terjadi pada makhluk-Nya.
Dalam menjalani kehidupan terkadang seorang
mukmin menghadapi takdir yang baik, yaitu peristiwa yang menyenangkan dirinya.
Sebagai contoh, seorang menikah, berhasil melakukan kebaikan, dan mendapatkan
keuntungan dalam bisnisnya yang halal. Ini adalah takdir baik dan
menggembirakan.
Tips
Menghadapi Takdir Yang Buruk
Namun, terkadang dalam hidupnya seorang mukmin
harus menghadapi takdir yang buruk, misalnya sakit keras, ibunya meninggal,
dizalimi temannya, dan disebarkan fitnah buruk tentang dirinya (difitnah)
sampai merasa sakit hati.
Nah, bagaimana sikap seorang mukmin yang baik?
Tips
1
Di dalam kitab Al-Fawaid, Imam Ibnul Qoyyim
rahimahullah bertutur
إذا جرى على العبد مقدور يكرهه فله
فيه ستّة مشاهد
Jika sebuah takdir yang buruk menimpa seorang
hamba, maka ia memiliki enam sikap dan sisi pandang:
الأوّل: مشهد التوحيد، وأن الله هو
الذي قدّره وشاءه وخلقه، وما شاء الله كان وما لم يشأ لم يكن
Pertama:
Pandangan (kaca mata) Tauhid.
Bahwa Allahlah yang menakdirkan, menghendaki dan menciptakan
kejadian tersebut. Segala sesuatu yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan
segala sesuatu yang tidak Allah kehendaki tidak akan terjadi.
Penjelasan:
Seorang mukmin yang di dalam hatinya mengakar
kuat keimanan terhadap Rabbnya akan memandang segala sesuatu dengan kaca mata
iman dan tauhid, terlepas apapun yang dihadapi dan dialaminya. Hatinya meyakini
bahwa segala sesuatu yang terjadi, pastilah Allah yang menghendakinya terjadi
dan Dialah yang menakdirkannya, baik peristiwa tersebut sebuah kebaikan ataupun
keburukan. Namun setiap yang Allah takdirkan terjadi, pastilah ada hikmahnya,
baik kita ketahui atau tidak.
Oleh karena itu, ketika mendapatkan musibah,
Anda dizalimi orang lain atau difitnah misalnya, maka pandanglah peristiwa itu
dengan kacamata iman, Allahlah yang menakdirkan musibah ini menimpa diri saya,
Allahlah yang memilih saya untuk menjadi orang yang tertimpa musibah ini ,
Allah lah yang memilih saya menjadi korban
fitnah ini. Radhiitu billahi Rabbaa, saya ridha Allah menjadi Rabbku dan Sang
Pengaturku. Saya tidak akan memprotes takdir-Nya.
Karena setiap hari seorang hamba berpeluang
tertimpa musibah, maka pantaslah prinsip hidup yang seperti ini dalam Islam
disyari’atkan untuk diwujudkan dalam ucapan dzikir pagi dan sore, bahkan
disyari’atkan untuk diucapkan 3 kali,
رضيت بالله رباً، وبالإسلام ديناً،
وبمحمد صلى الله عليه و سلم نبيا
“Aku rela Allah sebagai Rabb-ku, Islam sebagai
agamaku dan Nabi Muhammad shalllallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Nabiku” (HR.
Ahmad dan yang lainnya, dishahihkan oleh Al-Hakim dan disetujui oleh
Adz-Dzahabi).
Dengan demikian, setiap kali seorang hamba
tertimpa musibah, ia menghadapinya dengan lapang dada dan menggantungkan
harapan hatinya semata-mata kepada Sang Pengaturnya agar ia mendapatkan jalan
keluar dan mampu bersabar dalam menghadapinya dengan mengharapkan pahala
dari-Nya.
Tips
2
Imam Ibnul Qoyyim melanjutkan
الثاني: مشهد العدل، وأنه ماض فيه
حكمه، عدل فيه قضاؤه
Kedua: Kacamata keadilan.
Bahwa dalam kejadian tersebut berlaku
hukum-Nya dan adil ketentuan takdir-Nya.
Penjelasan
Setiap peristiwa yang ditakdirkan terjadi pada
diri seorang hamba pastilah Allah selalu adil dan tidak pernah zalim kepadanya,
karena Allah menentukan takdir bagi seorang hamba selalu sesuai dengan tuntutan
hikmah-Nya dan sesuai dengan ilmu-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ
لِلْعَبِيدِᄉ
“Dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya
hamba-hamba-Nya” (Fushshilat:46).
Bukankah setiap musibah yang ditakdirkan
menimpa kita karena akibat dosa kita?
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kalian maka
adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan
sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan kalian)” (Asy-Syuuraa: 30).
Tips
3
Kemudian Imam Ibnul Qoyyim
rahimahullahberkata:
الثالث: مشهد الرحمة،وأن رحمته في
هذا المقدور غالبة لغضبه وانتقامه، ورحمته حشوه
Ketiga: Kacamata kasih
sayang.
Bahwa rahmat-Nya dalam peristiwa pahit
tersebut mengalahkan kemurkaan dan siksaan-Nya yang keras, serta rahmat-Nya
memenuhinya.
Penjelasan:
Tidaklah Allah menakdirkan atas diri seorang
mukmin sebuah peristiwa yang pahit, kecuali didasari kasih sayang-Nya kepada
hamba tersebut. Dan kasih sayang-Nya mengalahkan murka-Nya.
Allah Ta’ala berfirman:وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ
“Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu”
(Al-A’raaf:156).
Dalam sebuah Hadits Qudsi, Allah berfirman,إن رحمتي سبقت غضبي
“Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan
kemurkaan-Ku” (HR. Bukhari dan Muslim) .
Tips
4
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah bertutur:
الرابع: مشهد الحكمة، وأن حكمته
سبحانه اقتضت ذلك، لم يقدّره سدى ولا قضاه عبثا
Keempat: Kacamata hikmah.
Hikmah-Nya Subhanahu menuntut menakdirkan
kejadian itu, tidaklah Dia menakdirkan begitu saja tanpa tujuan dan tidaklah
pula Dia memutuskan suatu ketentuan takdir dengan tanpa hikmah.
Penjelasan:
Hikmah pentakdiran pastilah ada. Namun hikmah
tersebut terkadang kita tahu, namun terkadang pula kita tidak tahu.
Namun, ketidaktahuan kita terhadap suatu
hikmah dari kejadian tertentu , tidaklah menghalangi kita berbaik sangka kepada
Allah Ta’ala.
Bahwa dengan hikmah Allah, Allah memutuskan
suatu takdir. Jadi, kita meyakini bahwa Allah Ta’ala Maha Bijaksana dalam
menetapkan takdir-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا
خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya
Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan
dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al Mukminuun: 115).
Allah Ta’ala juga berfirman,
أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ
يُتْرَكَ سُدًى
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan
dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?” (Al-Qiyaamah: 36).
Tips
5
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah bertutur:
الخامس: مشهد الحمد، وأن له سبحانه
الحمد التام على ذلك من جميع وجوهه
Kelima: Kacamata pujian.
Bahwa Dia Subhanahu terpuji dengan pujian
sempurna atas penakdiran kejadian tersebut, dari segala sisi.
Penjelasan:
Allah terpuji dari segala sisi, terpuji dzat,
nama, sifat maupun perbuatan-Nya, termasuk terpuji saat menakdirkan suatu
takdir yang pahit, karena semua itu berdasarkan ilmu dan tuntutan hikmah-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
دَعْوَاهُمْ فِيهَا سُبْحَانَكَ
اللَّهُمَّ وَتَحِيَّتُهُمْ فِيهَا سَلَامٌ ۚ وَآخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ
لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Do’a mereka di dalamnya ialah
subhanakallahumma dan salam penghormatan mereka ialah salam. Dan penutup doa
mereka ialah segala puji hanya bagi Allah Rabb semesta alam.” (Yuunus: 10).
Tips
6
Terakhir, Imam Ibnul Qoyyim menjelaskan
السادس: مشهد العبوديّة، وأنه عبد
محض من كل وجه تجري عليه أحكام سيّده وأقضيته بحكم كونه ملكه وعبده، فيصرفه تحت
أحكامه القدريّة كما يصرفه تحت أحكامه الدينيّة, فهو محل لجريان هذه الأحكام عليه
Keenam: Kacamata
peribadatan.
Bahwa orang yang menjalani takdir yang buruk
itu adalah sekedar hamba semata dari segala sisi, maka berlaku atasnya
hukum-hukum Sang Pemiliknya, dan berlaku pula takdir-Nya atasnya sebagai milik
dan hamba-Nya, maka Dia mengaturnya di bawah hukum takdir-Nya sebagaimana
mengaturnya pula di bawah hukum Syar’i-Nya. Jadi, orang tersebut merupakan hamba
yang berlaku atasnya hukum-hukum ini semuanya.
Penjelasan:
Sebagai seorang mukmin yang meyakini bahwa ia
hanyalah milik Allah dan hamba-Nya, maka ia sadar dan mengakui kepemilikan
Allah atas dirinya sehingga Dia berhak mengaturnya dengan bentuk pengaturan
bagaimanapun juga, semua terserah Dia, Sang Pemilik alam semesta, maka ia ridha
dengan pengaturan Rabbnya tersebut dan benar-benar menghamba kepada-Nya saja.
Seorang mukmin juga sadar bahwa dalam keadaan
bagaimanapun juga, sebagai seorang hamba, ia tetap tertuntut untuk
mempersembahkan peribadatan dan penghambaan kepada Sang Pemiliknya, yaitu Allah
‘Azza wa Jalla.
Sebagaimana dalam keadaan senang dan lapang,
ada tuntutan peribadatan atasnya, maka begitu juga dalam keadaan susah dan
tertimpa musibah, ada tuntutan peribadatan atasnya pula. Ia adalah hamba Allah,
baik dalam keadaan sedih maupun senang.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمَٰنِ عَبْدًا
“Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi,
kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba”
(Maryam: 93).
Allah Ta’ala berfirman,
وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ
يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا
سَلَامًا
“Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu
(ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila
orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang
mengandung) keselamatan” (Al-Furqaan: 63).
Semoga bermanfa’at.
Referensi:
- Fawaidul
Fawaid , Imam Ibnul Qoyyim, ta’liq: Syaikh Ali Hasan.
- Madarijus
Salikin, Imam Ibnul Qoyyim. Penulis: Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Repost WhatsApp
Group At-Taqwa, 14-12-2020
Alhamdulillah. Matur nuwun Bapa
ReplyDeleteSami2, Prof. Maturnuwun, awit wigatosipun...
DeleteSemoga Allah memberikan kesabaran atas segala ujian kepada kita.
ReplyDeleteaamiin ya rabbal 'alamiin
Delete