Ada dua peristiwa penting yang dapat kita
ambil hikmahnya dalam memaknai Hari Raya Idul Ad-ha.
Pertama, Pelaksanaan
Ibadah Haji di Mekah.
Ibadah Haji ini, diikuti jutaan umat Islam. Di sana, di
tanah suci, tergambar berbagai teladan dan pelajaran mulia yang bisa kita
dapatkan. Diantaranya :
• Pengakuan seorang hamba, makhluk yang bernama manusia,
di bawah kebesaran dan kekuasaan mutlak Allah SWT. Jutaan umat Islam yang tengah
menjalankan ibadah haji itu harus memiliki niat yang tulus ikhlas, semata-mata
memenuhi panggilan Ilahi Rabbi, memenuhi perintah Allah Yang Maha
Tunggal, hanya ingin mendapatkan ampunan dan mencari ridla serta kasih
sayang-Nya. Dia bersimpuh, dengan hati luruh, mengakui kedlaifan/kelemahan
diri, dosa-dosa dan kesalahannya di hadapan Sang Pencipta, Sang Pemilik Jagat
dan Alam Raya.
• Adanya Persatuan dan persaudaraan umat manusia. Disana
berkumpul jutaan manusia muslim dari berbagai penjuru dunia. Mulai dari Maroko
hingga Merauke. Mereka berasal dari berbagai negara dengan latar belakang yang
berbeda. Berbeda adat istiadat dan benderanya, tidak sama warna kulit dan
bentuk tubuhnya, beraneka suku dan hobbinya. Meskipun mereka berbeda, tetapi
mereka tetap bersatu, merasa bersaudara. Mereka berpakaian sama, kain putih dua
lembar tidak berjahit yang disebut ihram. Mereka menjalankan rukun dan
tata cara ibadah yang sama dengan niat dan tujuan yang sama, sama-sama menempuh
perjalanan spiritual mencari ridla Allah. Semua atribut / simbol keduniaan
dilepas. Sebutan duniawi ditanggalkan. Mulai dari Presiden, hingga pesinden,
jenderal maupun gedibal, kaum ningrat sampai kawula melarat, orang kampung juga
kalangan kampus. Tak ada sebutan tersebut. Yang ada hanya hamba Allah yang
harus tunduk patuh kepada kehendak dan perintah Allah.
Mereka menyadari, bahwa semua manusia dihadapan Allah
sama, yang membedakan hanyalah nilai ketaqwaannya. “Sesungguhnya orang yang
paling mulia disisi Allah adalah orang yang paling taqwa diantaramu.”
Melakukan perjalanan ibadah dengan kemurnian hati dan
niat, yang tidak boleh tercampur oleh kotoran dalam bentuk apapun. Hati,
ucapan maupun tindakan harus lurus. Jangan berkata kotor, jangan melakukan
kerusakan dan jangan mengejek atau menghina orang (wala fusuqa, wala furusha,
wala jidala).
Kalau ketiga hal itu dipahami betul, dihayati, kemudian
juga diamalkan dalam kehidupan sehari-hari setelah pulang ibadah Haji dan juga
dikuti oleh orang-orang disekitarnya, oleh kita semua, alangkah indahnya hidup
ini :
# Kesombongan, tinggi hati, kecongkakan, besar kepala dan
sikap menyepelekan orang lain akan hilang dari diri kita, karena
merasa bahwa kita ini hanya makhluk yang sebenarnya sangat lemah, tidak ada
apa-apanya dihadapan kebesaran dan kekuasaan Allah.
# Kita lebih mementingkan persatuan dan persaudaran umat
manusia demi mewujudkan kedamaian dan ketentraman dunia. Kita tidak
mencari-cari kesalahan dan menjelek-jelekkan orang lain, kelompok lain,
yang tidak sepaham, tidak sama dengan kita. Saat ini kita sering melihat
kejadian yang memprihatinkan. Hanya karena berbeda bendera dan lambang
organisasinya, beda visi dan misi dalam kegiatannya, kita mudah bersinggungan,
saling mengejek dan tidak mau saling membantu, bahkan bermusuhan, padahal sama-sama
orang Islam. Kita begitu mudah dipecah-belah oleh hal-hal sepele dan pengaruh
isu yang menyesatkan. Berbagai kejadian menggambarkan adanya saling curiga dan
permusuhan diantara umat Islam sendiri, bahkan masing-masing telah mengelompok
dan mengeras, serta berbangga dengan apa yang menjadi simbul kelompoknya.
Kebanggaan yang berlebihan sering menimbulkan tindakan di luar nalar,
serta melenceng dari norma maupun etika, sehingga mudah melecehkan
golongan atau kelompok lain yang dianggap musuhnya. Na’udzubillah.
Kita perlu memiliki sikap toleransi, mampu menerima
perbedaan dengan lapang dada, sehingga tumbuh sikap saling menghormati, dan
saling menghargai.
Mari kita jaga persatuan, kerukunan dan persaudaran
(ukhuwah) islamiyah. Dihadapan kita masih terbentang banyak tantangan dan
tanggung jawab besar, semua memerlukan kerja keras, kerjasama dan kekuatan
melalui persaudaraan.
Kedua,
Pelaksanaan Ibadah Qurban.
Percontohan luhur tentang Qurban dikisahkan dalam
Al-Qur’an Surat Ash-shoffat 102-107, yakni peristiwa dramatis yang dialami dua
hamba Allah, Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail. Dalam kisah itu ada teladan
tentang kesediaan memberi kurban yang amat besar, bukan sekedar kesenangan
lahir atau harta benda. Tetapi pengorbanan sesuatu yang amat dicintai, pengorban
jiwa untuk meraih nilai yang lebih tinggi. Allah SWT telah memerintahkan
Ibrahim untuk menyembelih putra kesayangannya, Ismail. Keteguhan hati dan sikap
rela berkurban dari Ibrahim dan Ismail untuk melaksanakan perintah dan mencari
ridla Allah, melahirkan kemuliaan bagi keduanya. Allah mengganti sembelihan itu
dengan hewan kurban.
Dikemudian hari, nabi Muhammad Saw mengabadikan peristiwa
penyembelihan hewan kurban itu sebagai salah satu amaliah ibadah yang
sangat tinggi nilainya di Hari Raya Idul Adha. Waktunya dari tanggal 10 hingga
13 Dzulhijah. Perintah berkurban dan keutamaan menyembelih hewan kurban,
diterangkan, bahwa
“Sesungguhnya Kami telah memberimu banyak nikmat. Maka
laksanakan sholat karena Aku dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang yang membencimu,
maka dialah orang yang telah terputus dari nikmat”(Qur’an, surat Al-Kautsar).
Dalam Hadits Riwayat Ahmad dan Ibnu Majjah, ada dialog
Sahabat dan Rasul, sebagai berikut :
Sahabat
: Apakah Udl-hiyah (Qurban) itu?
Rasulullah : Itu adalah
sunnah ayahmu, Ibrahim
Sahabat : Apa yang
kita peroleh dari Udl-hiyah ?
Rasulullah : Pada setiap bulu ada kebaikan
(untukmu).
Sahabat : Termasuk
bulu-bulu halusnya?
Rasulullah : Pada tiap helai dari bulu-bulu
halusnya juga ada kebaikan untukmu.
***
Namun yang lebih penting dalam ibadah kurban itu
bukan pada besar kecilnya hewan yang disembelih, tapi pada nilai keikhlasan dan
ketaqwaan yang melandasi ibadah Qurban. Dalam Qur’an surat Al-Haj 37,
diterangkan, ”Daging-daging qurban itu serta darahnya tidak akan dapat mencapai
ridla Allah, tetapi ketaqwaan dari kamu itulah yang dapat mencapainya.”
Ketaqwaan menjadi motivasi yang menggerakkan hati untuk
berkurban hanya mengharap ridl Allah. Untuk itu, nilai ketaqwaan dan keikhlasan
harus menjiwai segala aktivitas manusia.
• Ibadah kurban juga
menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah serta wujud rasa syukur atas
segala ni’mat-Nya, sekaligus merupakan pendidikan agar manusia dalam
kehidupannya jangan sampai hanya mementingkan diri sendiri dan kelompoknya
saja. Kita harus sadar bahwa semua yang kita miliki ini pada hakekatnya hanya
titipan atau amanat dari Allah. Ibadah kurban juga mendidik manusia untuk tidak
mudah putus asa dalam memperjuangan cita-cita, dan kebahagian abadi. Hidup
adalah perjuangan dan setiap perjuangan membutuhkan pengorbanan.
***
Ibadah Qurban memang dilakukan tiap tahun sekali, tapi
pengaruhnya, yaitu nilai ketaqwaan dan keikhlasan serta semangat berkurban
harus tetap menjadi nafas segala kegiatan, sepanjang waktu, selama hayat dikandung
badan.
Dengan demikian, hakekat Qurban bukan hanya pada saat
Idul ad-ha saja, tetapi juga diwaktu-waktu yang lain dengan ruang lingkup yang
lebih luas. Mulai dari menyantuni fakir miskin, mengelola Taman Pendidikan
Qur'an (TPQ), aktif dalam pengajian atau dakwah (syiar Islam), mengeluarkan
sebagian rejeki untuk perjuangan umat, dan lain sebagainya. Semuanya itu
membtuhkan pengorbanan, baik harta benda, tenaga, pikiran, bahkan kalau perlu
kurban jiwa.
Jika
semua itu dilakukan semata-mata karena keikhlasan dan ketaqwaan serta hanya
mengharap ridla Allah, yakinlah bahwa Allah akan menolong kita dan meneguhkan
langkah kita untuk meraih kemuliaan dan kebahagiaan hakiki di dunia dan
akherat.
Comments
Post a Comment