Novel "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck" karya
HAMKA ini bercerita tentang kisah romantis antara sosok Zainuddin dengan wanita
pujaan hatinya bernama Hayati. Keduanya ingin membangun rumah tangga sebagai
suami istri, tapi terhalang oleh adat Minangkabau dan berakhir memilukan.
Zainuddin berdarah Minang, tapi lahir di Makassar.
Pemuda ini dianggap orang asing dan tidak berhak menikahi gadis Minangkabau
karena dianggap manusia yang tidak jelas asal usulnya. Adalah Azis, seorang
pemuda dari keluarga kaya dan secara adat berhak, akhirnya berhasil menikahi
Hayati. Melihat kenyataan ini, hati Zainuddin terpukul hebat. Dia sedih
berkepanjangan, sakit dan hampir bunuh diri.
Kisah cinta Zainuddin dan Hayati banyak terungkap dalam
surat-menyurat yang terkirim diantara keduanya. Kalimat-kalimat indah yang
terangkai pada surat-surat itu membuat emosi kita ikut larut dalam kisah kasih
dua insan tersebut.
Ketika cinta Zainuddin ditolak oleh Hayati (karena
terpaksa mengikuti kehendak keluarga yang terkungkung oleh adat yang demikian
kuat, Zainuddin menumpahkan segala perasaaannya melalui surat panjang yang
dikirim kepada Hayati.
Dalam salah satu penggalan suratnya, dia menulis :
Hayati!
Bagaimanakah yang sebenarnya kejadian, Hayati?
Benarkah sudah ditutup perjalanan hidup kita hingga ini? Benarkah telah terputus
pertalian kita, dan saya sudah jadi orang lain dalam pemandanganmu, tidak akan
berkenalan lagi, tidak akan bertegur sapa lagi bila bertemu?
Benarkah Hayati, sejak sekarang kitab kita telah
tamat? Bila kita bertemu di tengah jalan, yang seorang akan menyisih ke jalan
kiri, dan yang seorang akan menyingkir ke jalan kanan?
Alangkah lekasnya hari berubah, alangkah cepatnya
masa berganti!
Apakah dalam masa sebulan dua bulan saja
istana kenang-kenangan yang telah kita dirikan berdua dihancurkan oleh angin puting beliung, sehingga dengan bekas-bekasnya sekalipun tidak akan bertemu lagi!
Ingatkah kau Hayati, istana itu telah kita tegakkan di atas air mata kita, di
atas kedukaan dan derita kita?
“Apakah keadaanku yang tidak kau setujui
Hayati ?
Apakah yang telah menyebabkan dengan segera
namaku kau coreng dari hatimu ?
Ah Hayati, kalau kau tahu ! Agaknya belum
pernah orang lain jatuh cinta sebagaimana kejatuhanku ini. Dan bila kau alami
kelak agaknya tidak juga akan kau dapati cinta sebagai cintaku. Cintaku
kepadamu lebih dari cinta saudara kepada saudarnya, cinta ayah kepada anaknya.
Kadang-kadang derajat cintaku sudah terlalu amat naik, sehingga hanya dua yang
menandingi kecintaan itu, pertama Tuhan dan kedua mati.
Tak pernah namamu lepas dari sebutan
mulutku. Tidak pernah saya khianat kepadamu, baik lahir ataupun batin. Kalau saya melihat alam, maka di dalam alam yang kulihat itu engkaulah yang
tergambar, segenap perasaanku berisi dengan engkau. Bilamana matahari terbenam
saya perhatikan benar-benar, karena disana kelihatan wajahmu yang indah. Bila
tekukur berbunyi, kudengarkan dengan khusyu’, lantaran disana laksana tersimpan
suaramu yang merdu. Dan bila saya melihat bunga yang mekar, kembalilah
semangatku, karena keindahan bunga itu adalah ciptaan keindahanmu.”
(hal.149)
--
Dalam surat balasannya, Hayati menulis :
Tuan yang terhormat!
Tak dapat saya sembunyikan kepada Tuan,
malah saya akui terus terang bahwasannya seketika membaca surat-surat Tuan itu,
saya menangis tersedu-sedu, karena tidak tahan hati saya.
Tetapi setelah reda gelora dan ombak hati
yang dibangkitkan oleh surat Tuan itu, timbullah kembali keinsafan saya, bahwa tangis itu hanyalah tangis orang-orang yang putus asa, tangis orang yang
maksudnya terhalang dan kehendaknya tidak tercapai. Tangis dan kesedihan itu
selamanya mesti reda juga, ibarat hujan; selebat-lebat hujan, akhirnya akan
teduh jua.
Kita akan sama-sama menangis buat sementara
waktu, laksana tangis anak-anak yang baru keluar dari perut ibunya. Nanti
bilamana dia telah sampai ke dunia, dia akan insaf bahwa dia pindah dari alam
yang sempit ke dalam alam yang lebih lebar. Kelak Tuan akan merasai sendiri,
bahwa hidup yang begini telah dipilihkan oleh Allah buat kebahagiaan Tuan. Allah
telah sediakan hidup yng lebih beruntung dan lebih murni untuk kemaslahatan
Tuan di belakang hari.
Tuan kan tahu bahwa saya seorang gadis yang miskin dan Tuan pun hidup dalam melarat pula, tak mempunyai persediaan yang cukup untuk menegakkan rumah tangga. Maka lebih baik kita singkirkan perasaan kita, kembali kepada pertimbangan. Lebih baik kita berpisah, dan kita turutkan perjalanan hidup masing-masing menurut timbangan kita, mana yang lebih bermanfaat buat di hari nanti.
Saya pun merasai sebagai yang Tuan rasakan,
yaitu kesedihan menerima vonis itu. Tetapi Tuan harus insaf, sudah terlalu lama
kita mengangan-angan barang yang mustahil, baik saya ataupun Tuan...
---
Ditengah kesedihannya, Zainuddin pindah ke Jakarta,
kemudian ke Surabaya ditemani sahabatnya bernama, Muluk.
Takdir membawa Azis pindah kerja ke Surabaya. Di Surabaya
Azis yang hidup berfoya-foya seperti kebiasaan sebelum menikah, akhirnya
bangkrut. Rumah tangganya goyah. Azis dan Hayati kemudian bertemu Zainuddin
yang sudah menjadi pengarang terkenal dan hidup mapan. Kehidupan Azis dan
Hayati yang makin terpuruk, mereka dengan
terpaksa ikut menumpang di rumah Zainuddin.
Azis yang menganggur karena dipecat dari pekerjaannya,
dengan rasa malu pindah ke Banyuwangi. Di sana, Azis ternyata menempuh hidup
tragis, bunuh diri dengan menenggak obat over dosis. Sebelum meninggal, Azis
menulis surat yang berisi pernyataan menyerahkan Hayati kepada Zainuddin.
Tetapi Zainuddin tidak mau menerimanya. Dia malah
menyuruh Hayati pulang ke kampung halamannya di Padang. Hayati pun meninggalkan Zainuddin dengan hati yang remuk
redam.
Dalam perjalanan dari Surabaya ke Jakarta, Kapal Van Der
Wijck yang ditumpangi Hayati tenggelam di perairan Tuban, Jawa Timur. Hayati
yang berhasil diselamatkan, beberapa saat kemudian meninggal dunia di Rumah
Sakit.
---
Novel "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck" karya
HAMKA ini awalnya merupakan cerita bersambung yang dimuat di majalah
"Pedoman Masyarakat", Medan, 1938. Lalu diterbitkan dalam bentuk buku
oleh Balai Pustaka 1951. Hingga tahun 1963, novel ini mengalami cetak ulang
ketujuh oleh penerbit yang berbeda-beda. Diantaranya penerbit Nusantara, Bulan Bintang dan salah
satu penerbit di Kuala Lumpur, Malaysia. Setelah mengalami beberapa kali cetak
ulang, terakhir, Balai Pustaka
menerbitkan Edisi Revisi Cetakan III Tahun 2014 dengan tebal xii+263 halaman.
---
Suparto
#RCO10
Karya Buya Hamka selalu berhasil menyentuh hati ini.
ReplyDeleteBetul, Mbak. Saya suka karya-karyanya
DeleteMantap pak parto. Semangat baca dan nulisnya emang luar biasa.
ReplyDeleteKata orang, untuk menjaga kewarasan kita, Mas. Hehehe..
Delete