Ketakutan
dan kesedihan
sebagai
sebuah gejala psikologis dan religious,
sebenarnya
dapat dilacak asal-usulnya
melalui
pemahaman mengenai sejumlah faktor
yang
memperpanjang proses
ketakutan
dan kesedihan tersebut.
Menurut
M. Ali Rahmatullah (2005),
ada
empat faktor yang menjadi sumber
munculnya
ketakutan dan kesedihan.
Pertama,
ketiadaan atau kurangnya ilmu.
Seseorang
yang tiada atau kurang berilmu, terutama keilmuan agama, akan menderita
kesedihan yang panjang. Mereka yang tidak mengetahui hakikat sesuatu akan
tersesat dalam segala hal.
Manusia
lebih sering berprasangka buruk kepada Allah karena kurangnya ilmu pengetahuan
keagamaan. Contohnya, ketika seseorang ditimpa penyakit, kebanyakan manusia
menganggapnya suatu siksaan baginya, padahal itu tidak seluruhnya benar. Dalam
beberapa nash agama diterangkan bahwa penyakit itu sebenarnya
ujian bagi manusia, yang dengan penyakit itu Allah berkehendak mengangkat
derajatnya dan mengampuni dosanya.
Begitupun dengan kemiskinan, yang nampak menyengsarakan, tapi apabila disikapi dengan sabar sesuai tuntunan Al-Qur'an bisa menjadi jalan kemuliaan.
Allah
berfirman, "...boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat
baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk
bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui." (QS.
Al-Baqarah [2] : 216.).
Di lain
ayat, Allah menyatakan, "(maka bersabarlah) karena mungkin kamu
tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak." (QS. An-Nisa [4] : 19)
Segala
hal yang terjadi itu juga merupakan ujian dari Allah untuk membuktikan siapa
diantara mereka yang paling baik amalnya.
"Dan
sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui
orang-orang yang berjihad dan bersabar diantara kamu; dan agar Kami menyatakan
(baik buruknya) hal ihwalmu." (QS. Muhammad[47]: 31).
a.
Kebaikan dan keburukan
"Tiap-tiap
yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan
dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah
kamu dikembalikan." (QS. Al-Ambiya [21] : 35)
"Sesunguhnya
Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perwhiasan
baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya." (QS.
Al-Kahfi [18] : 7)
c.
Ketakutan dan kekhawatiran
"Dan
sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada
orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah [2]:155)
d.
Kematian dan kehidupan itu sendiri
"Yang
menjadikan mati dan hidup, suapaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih
baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." (QS.
Al-Mulk [67] : 2)
Pola
pikir manusia yang tidak berilmu tidak akan mampu mengambil hikmah dari apa pun
yang dia alami.
Manusia
mengira harta itu anugerah, padahal lebih sering ia berupa ujian dan ancaman
baginya. Begitupun dengan keberadaan anak dan istri, kebanyakan manusia
menyangka bahwa itu adalah anugerah, padahal keduanya merupakan cobaan.
"Dan
ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesunguhnya
di sisi Allah-lah pahala yang besar." (QS. Al-Anfal [8] : 28)
Kedua,
ketiadaan atau kurangnya keimanan.
Allah
bertindak melalui jalan atau cara yang misterius, rahasia, tidak diduga atau
tidak populer. Namun demikian manusia harus tetap berprasangka baik (husnudzan)
kepada Allah.
Kesedihan
itu akan berlangsung lama bila manusia tidak beriman terutama kepada takdir
Allah, dimana semuanya datang dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Segala
sesuatu, baik dan buruk adalah ciptaan Allah, dan itu harus diyakini oleh
manusia, sebab bila tidak, manusia akan terjebak dalam fenomena penyalahan diri
dan orang lain.
Manusia
sesungguhnya tidak perlu bersedih hati atas semua masalah yang dialaminya
karena sejak semula Allah menentukan takdir pada setiap manusia bahkan seluruh
makhluk-Nya.
Ketiga,
ketiadaan atau kurangnya kesabaran.
Kesabaran
merupakan faktor penting dalam menghadapi ketakutan dan kesedihan.
Berlarut-larutnya kesedihan dan ketakutan karena tidak mampu mengembangkan
sifat sabar dalam menghadapi permasalahan, akhirnya bertekuk-lutut pada
kesedihan.
"Dan
Kami jadikan sebagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu
bersabar?; dan adalah Tuhanmu Maha Melihat." (QS.
Al-Furqan [25]:20)
Keempat,
ketiadaan atau kurangnya keridlaan.
Seseorang
yang kehilangan harta atau orang yang dicintainya akan sedih berkepanjangan
bila ia tidak ikhlas atau ridla terhadap kejadian tersebut. Kurangnya
keikhlasan menjadi salah satu kunci bagi jawaban atas berlarutnya kesedihan
seseorang. Semakin besar keikhlasannya dalam menerima dan menghadapi segala
sesuatu, maka akan makin berkurang dan segera hilang kesedihan yang
dialaminya.
Keempat
hal tersebut di atas memang teori yang normatif untuk menjadi acuan dari sebab
musabab kesedihan. Namun bila manusia mau mengembalikannya ke dalam sanubarinya
yang terdalam, maka keempat hal tersebut merupakan faktor utama yang menjadi
biang keladi mengapa manusia sering terkurung dalam kesedihan yang
berkepanjangan.
Suparto
Comments
Post a Comment