Hamka, seorang ulama dan pujangga besar di Indonesia, meski telah
meninggal dunia 35 tahun lalu, namun kiprah dan pemikirannya hingga kini masih
diperbincangkan dan menjadi rujukan banyak orang. Bukan hanya oleh umat Islam,
namun juga para pencinta sastra dan pencari hikmah.
Hamka yang lahir di Kampung Molek, Sungai Batang Maninjau, Kabupaten
Agam, Bukittinggi, Sumatra Barat, 17 Februari 1908, dikemudian hari menjadi
ulama besar, seorang pujangga dan politisi.
Hamka adalah nama pena. Nama HAMKA bahkan lebih populer
ketimbang kepanjangannya, yakni Haji Abdul Malik Karim Amrullah.
Dalam perjalanan hidupnya, HAMKA telah melahirkan
ratusan karya intelektual berupa sastra dan berbagai tema lainnya. Beberapa
bukunya menjadi karya monumental hingga sekarang. Diantaranya, Di
Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van der Wijk, Merantau Ke Deli, Di
Dalam Lembah Kehidupan, Menunggu Beduk Berbunyi, dan masih banyak
lagi. Bahkan Tafsir al-Azhar (30 jilid), karya utamanya, hingga kini
banyak menjadi rujukan umat Islam di Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
Atas banyaknya karya, terutama karya sastra, maka Muhammad ‘Immaduddin ‘Abdurrahim (seorang intelektual
Muslim dari Institut Tekologi Bandung), mencatat beberapa keistimewaan tentang
Hamka.
‘Immaduddin menyatakan, “Hamka adalah ulama pertama di tanah
air yang mampu mempergunakan sastra sebagai alat untuk menyampaikan pesan-pesan
Allah SWT dan risalah Rasulullah SAW. Selain bahasa Melayu yang dipakai Buya
Hamka dalam tulisan-tulisannya sangat tinggi menurut ukuran zaman itu, logika
yang disajikan pun sangat mudah dicerna oleh rata-rata manusia Indonesia ketika
itu” (M. Alfian Alfan, 2014).
Hamka melewatkan waktunya sebagai wartawan, penulis,
dan pengajar. Ia terjun dalam politik melalui Masyumi sampai partai tersebut
dibubarkan, menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, dan aktif
dalam Muhammadiyah sampai akhir hayatnya.
Universitas al-Azhar
Mesir dan Universitas Nasional Malaysia menganugerahkannya gelar doktor
kehormatan, sementara Universitas Moestopo, Jakarta mengukuhkan Hamka sebagai
guru besar. Namanya disematkan untuk Universitas Hamka milik Muhammadiyah dan
masuk dalam daftar Pahlawan Nasional Indonesia.
Riwayat hidup Hamka
sangat mengesankan, terutama menyangkut karya intelektualnya. Hamka adalah
seorang pembelajar otodidak yang luar biasa. Karena itu, meski ia tidak tamat
sekolah dasar, dikemudian hari menjadi tokoh besar bergelar Profesor Doktor.
Suparto
Baru tau Hamlah dari tulisan Pak Parto. Speechless yah ...
ReplyDeleteAlhamdulillah. Semoga Hamka bisa menginspirasi kita untuk terus belajar dan berkarya.
Delete