Oleh
: Suparto
usai Parade Baca Puisi di area CFD Solo |
***
Kegiatan FLP Solo Raya yang pertama saya ikuti berlangsung di tempat sangat
sederhana, di halaman rumah kuno, di
belakang Gedung Toko Gramedia Solo. Waktu itu, para peserta duduk melingkar di atas tikar, mendengarkan
uraian tentang dunia kepenulisan yang disampaikan oleh Sekretaris FLP Solo
Raya, Taufiqurahman yang dikenal dengan nama pena Opik Oman. Kegiatan hari itu
diisi juga dengan bedah karya anggota FLP, baik fiksi mauppun non fiksi.
Setelah
itu, hampir semua pertemuan atau kegiatan saya ikuti. Semua tugas dan kewajiban
berusaha saya penuhi, meski saya menjadi peserta tertua. Karena tempatnya
berpindah-pindah, untuk lebih mudah menjangkau, saya harus menempuh perjalanan
sejauh 30-an kilometer dari rumah saya di Sragen dengan mengendarai sepeda motor, atau naik bus
dan naik ojek. Namun saya tetap semangat mengikutinya.
Di
FLP Solo Raya saya mendapatkan banyak kesempatan mengenal FLP lebih dalam. Tentang tokoh-tokohnya,
karya-karyanya, dan peran penting FLP untuk ikut mengubah dunia ke arah yang
baik. Akhirnya mata, hati dan pikiran saya mulai terbuka tentang sesuatu yang
sangat prinsip, bukan hanya menyangkut diri sendiri, namun juga tanggung
jawab untuk memikirkan nasib masa depan bangsa dan dunia melalui tulisan.
“FLP
harus bangkit kembali untuk memainkan peran penting dalam perang peradaban di
era teknologi informasi. Kita harus berani berkarya untuk melawan media mainstream yang sudah sedemikian gila
menyerang dan merusak tata kehidupan bangsa yang bermoral saat ini.”
Itu
adalah salah satu pesan tokoh senior FLP, Afifah Afra, saat kami mengikuti
pertemuan di rumahnya, di kampung Kadipiro Solo. Dalam beberapa kali pertemuan, Afifah Afra
yang punya nama asli Yeni Mulati itu sering dihadirkan untuk memberikan pelatihan
sekaligus motivasi kepada para peserta.
Sementara ada renungan lain yang terus saya ingat disampaikan Rianawati dan Ranu Muda, senior di FLP Solo. Pesan ini menjadi sebuah refleksi mendalam mengenai perjalanan dan eksistensi FLP Solo. Riana meminta teman-teman FLP Solo Raya untuk terus berkiprah dan berkarya di tengah situasi “gawat” yang diciptakan para penulis liberal.
“Teman-teman FLP harus segera bangkit dan terus
melahirkan karya yang mencerahkan. Bukan karya yang meracuni!”
tegas Riana, seorang pegajar matakuliah Sastra di Fakultas Ilmu Budaya (FIB)
UNS.
Sedangkan Ranu Muda, seorang jurnalis, banyak mengungkap fakta betapa kekuatan media besar yang
dikendalikan oleh segelintir orang telah membuat Indonesia dan dunia tidak
berdaya.
“Kita harus sadar dan segera bangkit, karena faktanya seperti itu. Mereka begitu massive menebar fitnah, sementara kita tidak berdaya,” ungkap Ranu Muda serius
“Kita harus sadar dan segera bangkit, karena faktanya seperti itu. Mereka begitu massive menebar fitnah, sementara kita tidak berdaya,” ungkap Ranu Muda serius
Dalam
perjalanan sekitar dua tahun, disamping
mulai berlatih menulis karya fiksi, saya lebih banyak menyebarkan
informasi berbagai kegiatan FLP Solo Raya dalam bentuk karya jurnalistik. Beberapa
karya jurnalistik saya itu sebagian tersebar di akun facebook flp solo raya, www.flp.or.id dan media panjimas.com, disamping akun
pribadi.
Melalui
informasi tersebut, FLP Solo Raya yang dalam beberapa tahun mengalami kondisi, yang
disebut ‘lesu darah’ mulai bergairah lagi.
Dalam
dua tahun terakhir, ada beberapa kegiatan fenomenal yang diharapkan mampu
membangkitkan dunia kepenulisan di wilayah Solo Raya. Diantaranya, menyelenggarakan
Anugerah Pena, Curhat Self Publishing, Workshop Menulis Kreatif, dan Bedah Karya
secara rutin. Kegiatan lain yakni Parade Baca Puisi, launching Buku Antologi Puisi
dan kunjungan ke penerbit, pelatihan rutin tentang jurnalistik dan lomba karya fiksi, serta mengisi siaran dialog interaktif di beberapa Radio.
Lewat
kegiatan FLP, saya bisa bertemu dan mendengarkan langsung kisah proses kreatif
para penulis produktif. Seperti Afifah Afra yang sudah melahirkan lebih dari 50
karya buku fiksi dan non fiksi.
Ada Ungu Lianza, yang juga dikenal sebagai penulis muda produktif. Wanita bernama asli Mallina Ika MZ kelahiran Klaten tahun 1985 ini
sudah melahirkan karya 30 judul buku, sebagian besar berupa karya fiksi. Novel karya Ungu berjudul Here We Are yang berkisah tentang persahabatan tiga orang remaja, bahkan
mendapat respon pembaca cukup luas.
Saya pun bertemu dengan
Mell Shaliha, yang mampu melahirkan karya novel fenomenal berjudul The Dream In Taipei City di tengah kesibukannya menjadi
TKW di Hongkong. Dan juga bertemu Shinta Yudisia yang kini menjadi ketua FLP pusat, saat keduanya menjadi pembicara dalam kegiatan workshop nasional di UNS.
Dan masih banyak lagi orang-orang FLP yang memotivasi hidup saya untuk berani menuliskan gagasan yang menginspirasi dan mencerahkan. Tulisan yang mampu mengubah kehidupan saya dan orang lain. Yang paling saya rasakan, di usia yang tidak muda lagi ini, saya masih tetap bersemangat untuk terus menulis, sesuatu yang selama ini tidak bisa saya lakukan.
Dan masih banyak lagi orang-orang FLP yang memotivasi hidup saya untuk berani menuliskan gagasan yang menginspirasi dan mencerahkan. Tulisan yang mampu mengubah kehidupan saya dan orang lain. Yang paling saya rasakan, di usia yang tidak muda lagi ini, saya masih tetap bersemangat untuk terus menulis, sesuatu yang selama ini tidak bisa saya lakukan.
***
Bersama Mell Shaliha dan Shinta Yudisia |
Dari semua hal yang
saya ungkapkan di atas, ada pesan penting yang saya pegang, yakni “masuk dan
bergabunglah dalam komunitas kepenulisan seperti FLP agar terpacu untuk berkarya. Karya yang bisa
mengubah kehidupan dirimu dan dunia ke arah yang lebih baik.”
-----
(Tulisan
ini diikutsertakan dalam lomba essay “Aku dan FLP”)
baca puisi di Solo Muslim Fair |
pertemuan di rumah Afifah Afra |
bersama Ungu Lianza |
acara Anugerah Pena |
siaran di Hiz FM Solo |
Kereeenn.. Pak! Jadi semangat.
ReplyDeleteKereeenn.. Pak! Jadi semangat.
ReplyDeleteInsyaAllah Mbak.
DeleteInsyaAllah Mbak.
Delete