Manusia, dalam perjalanan
hidupnya tak pernah lepas dari terpaan masalah. Masalah bisa muncul dimanapun,
kapan pun, dan dengan siapapun. Secara sederhana, masalah dapat diartikan
sebagai suatu kenyataan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan dan
menimbulkan ketidaksenangan.
Bila kita cermati, masalah
yang sama menimpa seseorang, akan disikapi secara berbeda-beda. Ada yang begitu
panik, goyah, kalut, dan stress. Tetapi ada yang menghadapinya secara
mantap, tenang, bahkan malah menikmatinya. Hal ini berarti bahwa persoalan yang
sesungguhnya bukan terletak pada masalahnya. Melainkan pada sikap terhadap
persoalan tersebut.
Karena itu, siapapun yang
ingin menikmati hidup ini dengan nyaman, indah dan bahagia, diperlukan
kemampuan untuk menghadapi beragam masalah dengan baik. Apalagi seiring
bertambahnya usia, tuntutan, harapan, kebutuhan, cita-cita serta tanggung
jawab, maka kuantitas dan kualitas masalah pun akan terus meningkat.
Menurut Abdullah Gymnastiar
(2005 : 135), ada beberapa kiat
sederhana dapat kita lakukan untuk menghadapi terpaan masalah hidup.
Pertama, SIAP.
Kita memiliki banyak keterbatasan untuk mengetahui segala hal yang tidak
terjangkau oleh daya nalar dan kemampuan. Karena itu, kita harus siap untuk
menghadapi hal-hal diluar keinginan.
Jika kita salah dalam menyikapi, maka hidup ini akan dipenuhi dengan kekecewaan, penyesalan, keluh kesah, kedongkolan, dan sebagainya. Untuk itu, siapkan mental kita untuk menerima apapun yang terbaik menurut ilmu Allah Swt. Dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 216, Allah SWT berfirman,
“…boleh jadi kamu tidak menyukai
sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai
sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak
mengetahui.”
Kedua, RIDHA.
Hidup manusia terdiri dari berbagai episode yang tidak monoton. Ini adalah
kenyataan hidup. Jadi, kita harus benar-benar arif dalam menyikapi setiap
episode dengan lapang dada, kepala dingin, dan hati yang ikhlas, ridha.
Jangan selimuti diri dengan
keluh kesah. Semua itu tidak menyelesaikan masalah, bahkan bisa jadi
sebaliknya. Artinya, kita harus ridha menerima apapun kenyataan yang terjadi,
diiringi ikhtiar untuk memperbaiki kenyataan pada jalan yang di-ridhai Allah
SWT. Biasanya, orang menjadi stress karena tidak memiliki kesiapan mental dalam
menerima kenyataan yang ada. Pikirannya tidak realistis. Jika terjadi sesuatu
yang tidak sesuai dengan kenyataan, sibuk menyesali dan berandai-andai dengan
situasi yang sudah tidak ada, atau yang tidak mungkin terjadi.
Misalnya, suatu saat
memasak nasi, tetapi gagal dan malah menjadi bubur, kita memuntahkan kemarahan.
Akan tetapi, marah atau tidak marah bubur tetap saja bubur. Karena itu, daripada
marah mendzalimi orang lain dan memikirkan sesuatu yang membuat hati mendidih,
lebih baik pikiran dan hati kita sibuk mencari bawang goreng, ayam, cakue,
seledri, keripik, dan kecap, supaya bubur itu menjadi bubur ayam special. Nah,
selain perasaan kita tidak jadi sengsara, nasi yang gagal pun tetap bisa
dinikmati dengan lezat.
Sudah waktunya kita belajar
menerima kenyataan yang ada, tapi pikiran dan tubuh wajib ikhtiar untuk
memperbaiki keadaan dengan cara yang di-ridhai Allah SWT. Kondisi hati yang
ridha sangat membantu menjadikan proses
ikhtiar menjadi positif, optimal, dan bermutu.
Ketiga, JANGAN
PERSULIT DIRI. Sebagian besar penderitaaan kita adalah
hasil dramatisasi perasaan dan pikiran sendiri. Padahal, sikap seperti itu
justru akan membuat masalah menjadi lebih besar, lebih seram, lebih dahsyat,
lebih pahit, lebih gawat, lebih pilu daripada kenyataan aslinya. Ujungnya akan
terasa jauh lebih nelangsa, lebih repot dalam menghadapinya.
Boleh saja kita mempikirkan
kenyataan yang akan terjadi. Tetapi jangan sampai perkiraan itu membuat putus
asa dan sengsara sebelum waktunya. Begitu banyak orang yang pensiun, misalnya, ternyata tidak segawat yang
dipikirkan atau bahkan jauh lebih tercukupi dan berbahagia daripada sebelumnya.
Maka, dalam menghadapi
persoalan apa pun juga, jangan hanyut tenggelam dalam pikiran yang salah. Kita
harus tenang, menguasai diri seraya merenungkan janji dan jaminan prtolongan
Allah SWT. Yakinlah bahwa Allah yang Maha Tahu segalanya, pasti telah mengukur
ujian yang menimpa kita sesuai dengan dosis yang tepat dengan keadaan dan
kemampuan kita.
Keempat, YAKIN
PADA PERTOLONGAN ALLAH. Jangan takut terhadap masalah. Justru yang kita
takutkan, ketika kita telah optimal berusaha, berikthiar sepenuh hati,
tiba-tiba saat menemui jalan buntu, kita malah berputus asa dari rahmat-Nya.
Dengan kata lain, setelah usaha yang sungguh-sungguh kita laksanakan, kita
malah makin melupakan kekuasaan-Nya.
Sesungguhnya, segala
sesuatu terjadi atas ijin Allah SWT. “Laa haula walaa quwwata illa billaahil
‘aliyyil ’adziim” - tiada daya dan kekuatan kecuali atas pertolongan Allah
Yang Maha Agung. Sekuat tenaga kita ikhtiar dan meminta bantuan siapapun, tanpa
ijin-Nya tak akan pernah terjadi apa yang kita harapkan.
Allah SWT menjanjikan dalam Surat At-Thalaq [65] : 2-3,
“barangsiapa yang
bersungguh-sungguh mendekati Allah (Bertaqwa) niscaya akan diberi jalan keluar
bagi setiap urusannya, dan akan diberi rizki dari tempat yang tidak
disangka-sangka, dan barangsiapa yang bertawakal hanya kepada Allah niscaya
akan dicukupi segala kebutuhannya. sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya.
Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu."
Tulisannya sangat menginspirasi. Super sekali kakak ^_^
ReplyDeleteSemangat, terus berkarya..
Terima kasih. Semoga menjadi bahan renungan kita bersama.
Delete