Sudah
berpuluh tahun lamanya, saya mengikuti anjuran sang guru, ustadz, imam atau
mubalig untuk mengamalkan doa khusus di akhir dan awal tahun hijriyah. Karena
doa itu berisi renungan, refleksi, pengakuan akan kelemahan diri sebagai hamba
yang tak berdaya dalam perjalanan hidup yang telah dilalui, juga harapan mendapatkan
kekuatan dan bimbingan menghadapi tahun yang akan dijalani, maka saya tak
melewatkan waktu akhir dan awal tahun untuk memanjatkan doa tersebut.
Sebagaimana
yang saya ikuti dalam berbagai kesempatan kajian di Masjid dan juga melalui majalah, internet atau
media sosial, para ustadz dan penulis menunjukkan dasar atau dalil tentang doa
akhir dan awal tahun. Karena saya ini orang yang masih dangkal pemahamannya tentang
ilmu agama Islam, saya meyakini bahwa semua petunjuk itu benar
adanya. Saya pun mengikuti semua petunjuk itu, bahkan juga ikut menyebarkan
kepada orang lain.
Namun
hari ini, ketika saya baca uraian tentang doa awal dan akhir tahun hijriyah yang
ditulis oleh Muhammad Abduh Tuasikal, MSc, isinya sangat berbeda. Saya tidak
bisa memastikan apakah tulisan Muhammad Abduh Tausikal tersebut paling benar,
namun bagi saya hal ini bisa menjadi referensi tambahan untuk memacu diri agar
terus belajar.
Muhammad Abduh Tuasikal dalam uraiannya tidak mempersoalkan doanya, tetapi mempertanyakan dasar atau dalil yang kemudian dijadikan tuntunan.
Muhammad Abduh Tuasikal dalam uraiannya tidak mempersoalkan doanya, tetapi mempertanyakan dasar atau dalil yang kemudian dijadikan tuntunan.
Sebagaimana
diungkapkan dalam https://rumaysho.com/9209-doa-awal-dan-akhir-tahun-hijriyah-adakah-tuntunan.html
yang terbit tanggal 22 Oktober 2014, dalam judul Doa Awal dan Akhir Tahun, Adakah Tuntunan? Muhammad Abduh Tuasikal
mengungkapkan banyak hal.
Menurut Tuasikal, amalan ini
begitu tersebar di berbagai masjid di negeri kita ini. Karena itu sangat
penting sekali kita mengetahui ada dasar ataukah tidak amalan tersebut.
Berikut ini beberapa dasar yang disampaikan Muhammadi Abduh Tuasikal.
Berikut ini beberapa dasar yang disampaikan Muhammadi Abduh Tuasikal.
Syaikh Bakr Bin Abdillah Abu
Zaid rahimahullah berkata, “Syariat Islam
tidak pernah mengajarkan atau menganjurkan doa atau dzikir untuk awal tahun.
Manusia saat ini banyak yang membuat kreasi baru dalam hal amalan berupa doa,
dzikir atau tukar menukar ucapan selamat, demikian pula puasa awal tahun baru,
menghidupkan malam pertama bulan Muharram dengan shalat, dzikir atau do’a,
puasa akhir tahun dan sebagainya yang semua ini tidak ada dalilnya sama
sekali.” (Tashih Ad Du’a’, hal.107)
Syaikh ‘Abdullah At Tuwaijiriy
berkata, “Sebagian orang membuat inovasi
baru dalam ibadah dengan membuat-membuat doa awal tahun dan akhir tahun.
Sehingga dari sini orang-orang awam ikut-ikutan mengikuti ritual tersebut di
berbagai masjid, bahkan terdapat para imam pun mengikutinya. Padahal, doa awal
dan akhir tahun tersebut tidak ada pendukung dalil sama sekali dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga dari para sahabatnya, begitu pula dari
para tabi’in. Tidak ada satu hadits pun yang mendukungnya dalam berbagai kitab
musnad atau kitab hadits.” (Al Bida’ Al Hawliyah, hal. 399).
Dilanjutkan pula oleh Syaikh At
Tuwaijiriy di halaman yang sama, “Kita
tahu bahwa doa adalah ibadah. Pengkhususan suatu ibadah itu harus tawqifiyah
(harus dengan dalil). Doa awal dan akhir tahun sendiri tidak ada tuntunan dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula pernah dicontohkan oleh para
sahabat radhiyallahu ‘anhum.” (Idem)
Kaedah
Memahami Bid’ah
Para ulama telah menjelaskan
kaedah untuk menerangkan manakah yang termasuk bid’ah, manakah yang bukan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata, “Setiap perkara yang faktor
pendorong untuk melakukannya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada
dan mengandung suatu maslahat, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
melakukannya, maka ketahuilah bahwa perkara tersebut bukanlah maslahat. Namun, apabila
faktor tersebut baru muncul setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat
dan hal itu bukanlah maksiat, maka perkara tersebut adalah maslahat.“
(Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2: 101)
Contohnya saja, adzan saat
shalat ‘ied, ada faktor pendorong dan tidak ada yang menghalangi untuk
menghidupkannya di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam namun beliau tidak
melakukannya, maka ini menunjukkan bahwa adzan saat shalat ‘ied jika ada yang
melakukannya saat ini dihukumi sebagai bid’ah.
Sama halnya dengan doa awal dan
akhir tahun. Itu pun tidak pernah dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga tidak pernah dilakukan di masa para sahabat. Padahal saat itu bisa
saja dilakukan karena masih adanya faktor pendorong dan tidak ada yang
menghalanginya, namun hal itu tidak dilakukan. Ini menunjukkan jika ada yang
membuat-buatnya saat ini dengan mengumpulkan jamaah menjelang waktu Maghrib
untuk membacakan doa akhir tahun dan setelah masuk Maghrib untuk membaca doa
awal tahun, itu semua termasuk bid’ah yang tidak dituntunkan.
Perlu dipahami pula bahwa
penetapan tarikh hijriyah (kalender Hijriyah) baru ada di masa khalifar Umar
bin Al Khattab radhiyallahu ‘anhu.
Berdasarkan kesepatakan para
sahabat, bulan Muharram ditetapkan sebagai awal tahun dan bulan Dzulhijjah
ditetapkan sebagai akhir tahun. Ketika penetapan awal dan akhir tahun pun, kita
tidak dapati para sahabat memanjatkan doa awal dan akhir tahun. Tidak ada di
antara para sahabat yang membuat ritual tersebut padahal bisa saja mereka
melakukannya.
Syaikh Muhammad bin Husain Al
Jizani berkata, “Setiap ibadah yang tidak
dilakukan oleh salafush sholeh dari kalangan sahabat, tabi’in dan yang
mengikuti jejak mereka, atau tidak ada nukilan, tulisan, atau penyampaian di
dalam majelis, maka perbuatan tersebut disebut bid’ah dengan syarat ada faktor
pendorong untuk melakukannya dan tidak ada penghalang yang menghalangi untuk
melakukan ibadah tersebut.” (Qawa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 181)
Tinggalkan
Bid’ah!
Marilah kita bersama
menghidupkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhkan diri dari
segala macam bid’ah.
Jika seseorang mengikuti
petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, itulah tanda orang yang cinta pada
Allah. Seorang ulama yang terkenal zuhud dan pemberi nasehat yang menyentuh
hati, Dzun Nuun Al Mishri berkata,
مِنْ عَلاَمَاتِ المُحِب
للهِ مُتَابَعَةُ حَبِيْبِ اللهِ فِي أَخْلاَقِهِ وَأَفْعَالِهِ وَأَوَامِرِهِ
وُسُنَنِهِ
“Tanda
seseorang cinta pada Allah adalah mengikuti habibullah (kekasih Allah yaitu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) dalam akhlak, perbuatan, urusan dan
sunnahnya.” (Al I’tishom, 1: 152).
Abu ‘Ali Muhammad bin ‘Abdul
Wahhab Ats Tsaqofi berkata,
لاَ يَقْبَلُ اللهُ مِنَ الأَعْمَالِ إِلاَّ مَا
كَانَ صَوَابًا وَمِنْ صَوَابِهَا إِلاَّ مَا كَانَ خَالِصًا وَمِنْ خَالِصِهَا
إِلاَّ مَا وَافَقَ السُّنَّة
“Allah tidaklah menerima amalan kecuali amalan tersebut showab (benar). Amalan yang benar adalah amalan yang ikhlas. Amalan yang ikhlas adalah amalan yang sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Al I’tishom, 1: 156).
Semoga kita menjadi orang yang
benar-benar mencintai Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengikuti
petunjuknya dan meninggalkan amalan yang tidak beliau contohkan.
Sumber :
Suparto
- Get link
- Other Apps
Labels
KAJIAN
Labels:
KAJIAN
- Get link
- Other Apps
Terimakasih pak, sudah di ingatkan :D
ReplyDeleteSaling mengingatkan mas
DeleteWah tulisan bapak keren, bermanfaat banget ini. Terimakasih pak
ReplyDeleteMasih terus belajar mbak
DeleteJejak :)
ReplyDelete