Hari Jadi ke-270 Kabupaten Sragen yang jatuh pada tanggal 27 Mei
2016, seperti yang sudah berlangsung beberapa tahun, diperingati secara khusus
oleh Pemerintah Kabupaten Sragen beserta warganya dengan berbagai kegiatan.
Namun dalam catatan ini, saya ingin menyinggung kesadaran sejarah tentang
Hari Jadi Sragen. Hal ini dapat kita perhatikan ketika tanggal 26 Mei malam,
hampir semua warga di seluruh wilayah Rukun Tetangga (RT) yang berjumlah lebih
dari 6000 RT, berkumpul mengadakan tirakatan.
Malam tirakatan sebenarnya diadakan untuk menjadi media refleksi dan
wujud rasa syukur kepada Allah, diisi dengan berbagai acara. Diantaranya, doa
bersama, pemotongan nasi tumpeng,
pembacaan riwayat singkat sejarah Sragen, pembacaan sambutan Bupati, sarasehan
dan hiburan. Malam tirakatan diharapkan menjadi momen penting yang menggambarkan kebersamaan
seluruh warga serta rasa kecintaan dan handarbeni
(rasa memiliki) terhadap Sragen.
Hanya Tahu Sekilas
Meskipun hampir semua warga terlibat dalam perayaan tersebut,
tetapi bagi sebagian besar warga Sragen, termasuk para pejabat, pendidik dan
tokoh masyarakat, kalau ditanya hakikat
(substansi) sejarah Hari Jadi Kabupaten Sragen, sejujurnya mereka hanya mengetahui
sekilas saja. Mereka hanya mendengarkan sambil lalu (tidak serius) pembacaan teks
sejarah Hari Jadi Kabupaten Sragen sebanyak 3 halaman yang dibacakan oleh petugas. Lebih dari itu, mereka tidak pernah tahu, atau tidak mau tahu.
Dengan kondisi dan sikap seperti itu, tujuan untuk memperoleh
pelajaran, hikmah dan dorongan semangat dari sebuah peringatan, jauh dari
harapan. Yang lebih menonjol adalah acara seremonial dan tampilan hiburan yang
meriah. Segi positifnya jelas ada. Misalnya, dari aspek sosial, mereka bisa
berkumpul, berinteraksi bersama dalam suasana kegembiraan.
Sedangkan dari segi kesadaran warga terhadap sejarah lahirnya
pemerintahan Kabupaten Sragen masih sangat rendah. Akibatnya, kita tidak pernah
tahu secara detail apa yang sebenarnya terjadi 270 tahun yang lalu. Termasuk
nama-nama penting yang kita yakini kebenarannya hingga kini.
Sementara itu perhatian Pemerintah Kabupaten yang menggambarkan
tingkat kedarasan sejarah, juga sebatas pada kegiatan ziarah ke makam-makam para
tokoh pendiri Sragen.
Mereka hanya membaca sekilas teks ringkasan sejarah yang dibacakan tiap tanggal 26 Mei malam. Bahwa berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Sragen
Nomor 4 Tahun 1987, Hari Jadi Kabupaten Sragen ditetapkan hari Selasa Pon, tanggal
27 Mei 1746.
Tanggal dan waktu tersebut adalah dari hasil penelitian serta
kajian pada fakta sejarah, ketika Pangeran Mangkubumi yang di kemudian hari
menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono ke I, menancapkan tonggak pertama melakukan
perlawanan terhadap Belanda menuju bangsa yang berdaulat dengan membentuk suatu
pemerintahan lokal di Desa Pandak Karangnongko (terletak di Desa
Krikilan, Kec. Masaran) masuk tlatah
Sukowati.
Sebenarnya, Perda Sragen tersebut memuat informasi penting
tentang hasil penelitian tim dari Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret
(UNS) Surakarta yang melahirkan dokumen sejarah.
Tetapi sayangnya, buku itu kini sepertinya tidak
dianggap penting oleh sebagin besar warga Sragen. Keberadaan buku tersebut kini tidak banyak yang tahu. Bahkan beberapa pejabat ketika saya tanya tentang buku tersebut, sebagian besar menyatakan tidak pernah membacanya.
Buku itu terbit 29 tahun lalu sehingga generasi yang lahir sejak era tahun 1980-an tentu tidak pernah tahu sejarah Sragen, kecuali membaca buku.
Buku itu terbit 29 tahun lalu sehingga generasi yang lahir sejak era tahun 1980-an tentu tidak pernah tahu sejarah Sragen, kecuali membaca buku.
Dengan realitas seperti itu, menjadi tugas
pengambil kebijakan Pemerintah Kabupaten Sragen sekarang untuk menerbitkan
kembali dokumen tersebut agar dapat diketahui secara luas oleh generasi penerus
di bumi Sukowati.
Agar lebih menarik, buku tersebut tidak sekedar
cetak ulang seperti aslinya yang terkesan terlalu formal, namun perlu
disempurkan dengan editing dan design cover yang memadai. Buku seperti ini bisa menjadi bacaan menarik untuk semua warga, termasuk bagi anak-anak dan remaja.
Seperti diungkapkan Dr. Soejatno Kartodirdjo
(almarhum), Dekan Fakultas Sastra UNS (1987) yang menjadi penanggung jawab
penelitian kala itu, jika suatu masyarakat atau Negara telah mempunyai
kesadaran sejarah yang tinggi, maka masyarakat atau Negara itu telah memandang
penting adanya dimensi waktu dalam kehidupannya. Waktu dalam konteks kesadaran sejarah,
meliputi masa lampau, masa kini dan masa depan.
Menurut Pak Yatno, panggilan Dr. Soejatno
Kartodirdjo, seorang sejarawan kelahiran Sragen ini, dengan telah ditemukannya
Hari Jadi Pemerintahan-nya, berarti Pemerintah Daerah dan masyarakat Sragen
telah menemukan kembali etos budaya di masa lampau. Dan etos budaya inilah yang
hendak dijadikan fondasi untuk pembangunan daerah masa kini dan masa depan.
Jadi pengen baca bukunya kira-kira isinya apayah ? Hehe
ReplyDeleteJadi pengen baca bukunya kira-kira isinya apayah ? Hehe
ReplyDeleteInsyaallah besok saya ungkap mas
DeleteMenarik pak. Buku yg sebelumnya non fiksi kalau bisa diolah jd fiksi ataupun faksi, bisa jadi sangat menarik untuk kawula muda ya pak.
ReplyDeleteiya nih. saya tertarik yg faksi itu. trims
DeleteBagus Pak. Generasi muda kudu tahu arti pelestarian budaya lokal yang sejatinya mengajarkan untuk 'tahu menempatkan diri' lewat mengenal siapa leluhurnya.
ReplyDeleteTerima kasih telah memberi tambahan wawasan bagi kami.
Deletebener pak, harus didesign ulang supaya lebih asyik untuk dibaca
ReplyDeletebener pak, harus didesign ulang supaya lebih asyik untuk dibaca
ReplyDeletemakasih masukannya
Delete