Sesuai rencana, Guritno bersama perangkatnya mendatangi rumah Suto.
Melihat kedatangan Guritno, puluhan warga yang berkerumun itu berebut menyalami
Kepala Desa yang simpatik itu. Beberapa orang dari luar desa yang belum
mengenalnya juga mendekat Guritno.
“Selamat Siang Pak Lurah..” beberapa orang menyapa.
“Selamat Siang. Gimana kabarnya. Sehat semua kan.?” Sapa
Guritno.
“Nggih Pak Lurah…”
Guritno langsung menuju lokasi sumur tua milik Suto.
Ia segera melongok
ke dalam sumur seperti yang dilakukan warga. Ia berkali-kali melongok ke lubang sumur yang
berkedalaman 15 meter. Sesaat kemudian, ia
melihat ke sekeliling, mengamati puluhan rumpun pohon bambu yang tumbuh subur
di pekarangan Suto.
Beberapa orang yang menyaksikan gerak gerik Kepala Desa
itu saling berpandangan dan berbisik satu sama lain. Mereka menerka apa yang
akan dilakukan pemimpin desa itu. Diantara mereka ada yang memberanikan diri bertanya dan usul
kepada Guritno.
“Bagaimana pak.. Apa betul ada suara orang menangis di dalam
sumur?”
“Sebaiknya kita cek ke dasar sumur saja pak..!”
“Situasi desa kita makin ramai dan sulit dikendalikan…”
“Tenang bapak-bapak. Kita jangan gegabah. Saya akan segera
koordinasi dengan pihak-pihak yang berkompeten untuk mengatasi semua ini,”
Guritno menanggapi berbagai pertanyaan dan rasa penasaran warga.
***
Guritno, pria berumur tiga puluh tahun ini, seorang sarjana
berpikiran modern, tapi menjalani hidup dengan sederhana. Ia memenangkan
pemilihan kepala desa tiga tahun lalu tanpa melibatkan botoh (bandar judi). Tidak
seperti yang biasa terjadi di tempat lain, kepala desa yang terpilih bukan
faktor kualitas, tapi karena peran para pembotoh. Memang ironis, pesta
demokrasi tapi nyatanya selalu menjadi ajang taruhan para bandar judi.
Untuk pertama kalinya, desa ini dipimpin orang yang berusia
muda, dan bergelar sarjana lagi. Makanya, ia menjadi tumpuhan harapan hampir
tiga ribu rakyat desa yang dipimpinannya. Namun meski tidak mudah, Guritno
sudah bertekad untuk berjuang mengubah kondisi desanya kearah lebih maju.
Melihat karakter warganya, dan belajar dari para kepala desa sebelumnya,
Guritno ingin menjalankan prinsip kepemimpinan egaliter.
“Saya harus menjadi pemimpin yang mampu mendudukkan diri sebagai
kawula. Menjadi pelayan rakyat, bukan
sebagai penguasa. Yang mampu
memposisikan diri sebagai bagian dari rakyat kebanyakan. Ini tantangan berat bagi
saya,” Guritno berpikir mengenai ilmu yang akan dipraktekkan dalam kehidupan
nyata.
***
“Pak Suto!” tiba-tiba Guritno berteriak memanggil Suto.
“Nggih Pak Lurah..” Suto
mendekat Guritno.
“Ayo masuk ke dalam rumah pak Suto.
Kita ngobrol-ngobrol
di sana ya ...?”
“Nggih
Pak Lurah...”
Sebelum dipersilahkan duduk, Guritno sempat melihat-lihat
kondisi rumah Suto yang sangat sederhana.
Di ruang tamu hanya ada empat kursi dan satu meja kayu. Lantai ubinnya sudah
banyak mengelupas. Pada dinding rumah yang terbuat dari papan kayu yang sudah
kusam, tergantung dua pigura. Satu pigura berisi foto ayah ibu Suto, dan
satunya lagi foto Suto bersama istri dan anaknya waktu acara perikahan
keluarga.
Setelah duduk berdua, Guritno menyodorkan sebungkus rokok dan
korek api kepada Suto. Guritno sendiri sebenarnya tidak merokok. Tapi
kemana-mana sering membawa satu dua bungkus rokok beserta korek api untuk
diberikan warga.
“Nih, ngrokok dulu….”
“Nggih matur nuwun,”
Mereka berdua ngobrol santai dan akrab. Tidak ada jarak.
Sesekali diselingi guyonan khas wong cilik. Setelah suasana cair, Guritno
mulai mengorek
keterangan dari Suto secara detail. Guritno juga mendalami
persoalan batin pria yang sudah lama dikenalnya ini. Sementara isteri dan anak Suto berada di ruang belakang. Setelah
hampir satu jam ngobrol, Guritno pamit.
“Pak Suto. Karena waktunya sudah siang, saya pamit dulu. Lain waktu
saya ke sini lagi,”
“Nggih Pak Lurah….”
“Ini sekedar untuk beli rokok…” kata Guritno sambil menyerahkan
amplop berisi uang.
Keluar dari dalam rumah Suto, pikiran Guritno dipenuhi berbagai
pertanyaan. Ia merasa belum bisa mendapatkan jawaban tentang misteri sumur itu.
Banyak hal yang aneh dari keterangan Suto. Lebih aneh lagi dengan perilaku
masyarakat yang begitu gampang terpengaruh oleh omongan orang yang belum jelas.
Guritno melihat, kebanyakan orang yang datang melihat sumur
milik Suto itu hanya mendengar cerita yang sepotong-sepotong. Cerita itu kemudian berkembang menjadi gossip
atau rumor. Kalau sudah terjebak ke
ranah rumor, maka yang terjadi adalah informasi yang bias. Orang dapat mengurangi, menambah, atau mengubah informasi
yang diterima menurut persepsinya.
***
Sementara itu beberapa warga memanfaatkan situasi tidak menentu
ini menjadi ajang mencari tambahan rejeki.
“Kita harus bisa menyulap situasi ruwet menjadi peluang bisnis
brooo,” ujar Gondo, tokoh pemuda setempat yang pernah berpengalaman 6 tahun
hidup di Jakarta. Gondo menggerakkan warga untuk berjualan minuman dan makanan
kecil, membuka layanan parkir kendaraan, dan menjual Koran yang memuat berita
tentang misteri sumur pak Suto.
Kepala Guritno agak pusing ketika menyaksikan lalu-lalang
manusia yang mendatangi sumur pak Suto makin banyak.
“Ini fenomena aneh. Nggak masuk akal !!” Guritno bergumam.
Bersambung
#OneDayOnePost
Suparto
Mungkinkah ketukan pintu itu karena angin.?
ReplyDeletebelum bisa dipastikan mbak
DeleteMasyarakat memang cepat terpancing dengan hal-hal seperti itu.
ReplyDeleteitulah fakta tentang kondisi masyarakat kita
DeleteSemakin penasaran
ReplyDeletemakin gelap..
DeleteHmm.. fenomena yah pak... orang indonesia...
ReplyDeletemenjadi bahan kajian menarik nih...
Deletejangan jangan suara itu datangnya dari pohon bambu dekat sumur ya, pak
ReplyDeletejangan jangan suara itu datangnya dari pohon bambu dekat sumur ya, pak
ReplyDeleteWah ini masukan bagus utk pak lurah. Nanti aku sampaikan
DeleteDuh.. Penasaran pak parto..
ReplyDeleteNantikan kisah selanjutnya
DeleteAku kasihan sama Pak Lurahnya, Bisa jadikan ada binatang yang nyebur ke sumur.
ReplyDeleteBisa juga ya...
DeleteBaru bisa baca, udh saya ikutin part 1 hingga 7.
ReplyDeleteCeritanya mengalir, bahasanya renyah. Tetapi tetap kuat genre horornya.
Serem pak.
Keren.
Baru bisa baca, udh saya ikutin part 1 hingga 7.
ReplyDeleteCeritanya mengalir, bahasanya renyah. Tetapi tetap kuat genre horornya.
Serem pak.
Keren.